Oke, dalam satu hari ini saya mengepos beberapa chapter dalam novel saya The Davian jilid pertama.Setelah tadi, beberapa waktu mencari gambar ilustrasi yang kiranya cocok untuk menggambarkan situasi ini. sangat cukup sulit juga carinya, semoga suka :)
Memang dalam novel ini menggunakan nama-nama barat, khususnya eropa, tapi untuk tokoh utama sendiri "Frea" merupakan nama yang berasal dari bahasa Indonesia. Frea berarti Bangsawan yang adil. Hampir seluruh nama tokoh di The Davian memiliki arti tersendiri, dan hampir seluruhnya juga didapat dari situs http://www.idenamabayi.com/ situs yang benar-benar sangat membantu untuk mencari inspirasi nama-nama tokoh, udah gitu berikut arti dan lengkap banget.
Saya pernah menunjukkan novel ini kepada partner nulis Fantasi saya untuk novel yang lain. Minta tolong untuk baca dan mengomentari, dan dia bilang kalau ini membahas hal yang sama dengan Casual Vacancy nya JKR. padahal, sungguh novel ini sudah ada idenya di kepala sebelum Casual Vacancy rilis, dan saya juga belum pernah baca novel JKR yang satu itu, meski saya sangat ngefans sama JKR dan karya-karya amazing HArry Potternya. So... saya yakin ini novel alurnya dan isinya beda banget dari sinopsis Casual Vacancy, meski sama-sama mengangkat masalah sosial, dan di seting abad pertengahan. hahaha.... coz i love classic story. hakakakak.... Tau kah? Pada bab pertama, saya tulis setelah bab lain jadi, dan dalam kondisi patah hati... hik... hik.... semoga pembaca bisa merasakan pedihnya tragdi itu, tapi... upz kasus beda, saya patah hati bukan karena orang yang dicintai tewas, tapi karena ditinggal nikah :( huaaa..... Upz... curcol boo....
Waw kayanya udah terlalu banyak bercerita deh. Yuuk silahkan dibaca, ditunggu komentar dan kritik nya,,,, folow juga ya..... :):):)
The Davian Book 1
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih
Bab
2: Keluarga Seablert
Suara
gaduh sentakan kaki dengan lantai parket kayu terdengar. Mengganggu Fiona
Seablert yang sedang menata sarapan di ruang makan, satu lantai dibawah sumber
suara. Tidak lama kemudian, terdengar suara dua wanita muda yang berdebat.
Markuires Seablert berusaha mengacuhkan suara berisik itu. Ia terus menata meja
sambil memberikan perintah dan mengecek pekerjaan pelayan-pelayannya.
Markuires Fiona
Seablert adalah istri dari Markuis Verrel Seablert. Seorang wanita yang masih
terlihat cantik diusia 42 tahun. Kulitnya putih bersih, memiliki rambut ikal
berwarna emas yang selalu ia tata dengan gelungan sederhana. Jepit dari perak
atau emas yang dihias mutiara maupun batuan mulia berbentuk bunga memanjang,
selalu tersemat di sisi kanan rambut. Verrel sungguh beruntung mendapatkan
Fiona yang digilai pria bangsawan, pada masa mudanya.
“Ibu ... Frea mengambil jepit rambutku.”
“Pengadu! Lagipula,
ini milikku yang belum kau kembalikan.”
“Elenor Frea, Daila
Rose ... jangan sampai ibu naik keatas!” Ancam Nyonya Seablert dari ruang
makan. Suaranya terdengar berteriak.
“Frea mengambil
jepit tulip yang sedang kupakai.”
“Aku hanya mengambil
milikku,” bela Frea.
Frea berlalu menjauh
dari Daila, mendekati tangga turun. Rambut ikal cokelat sepunggungnya mengibas.
Daila mengikuti dari belakang, berusaha merebut kembali jepit rambut tulip yang
terbuat dari emas putih, serta berhiaskan berlian kuning di bagian putik.
Sepintas, Frea dan
Daila tampak sama. Mereka memiliki bibir tipis merah dari Fiona. Bola mata
mereka berwarna hijau terang, Daila memiliki dagu labih lancip, sedangkan Frea
memiliki hidung mancung sama seperti ayahnya, lebih mancung dari Daila dan
ibunya. Serta Frea lebih tinggi dua senti dari adiknya, rambut Daila memiliki
warna yang sama dengan rambut Fiona, keemasan. Hanya saja sedikit gelap karena
Verrel memiliki rambut coklat. Sedangkan warna rambut Frea lebih coklat, lebih
mirip warna rambut Verrel, hanya sedikit lebih terang.
“Margharet, kau
awasi pekerjaan para pelayan. Aku tidak tahan dengan keributan diatas.”
“Baik, Nyonya.”
Kepala pelayan
urusan dapur berusia 60 tahun itu mengangguk, mengiyakan perintah Fiona. Walau
sudah tua, Margharet masih terlihat segar. Apalagi dengan penampilannya yang
selalu rapi dan bersih. Walaupun, rambut yang selalu digelung itu sudah hampir
memutih sempurna.
Fiona naik ke lantai
dua. Menuju sumber keributan. Dengan perasaan jengkel dan kesal. Sepertinya
tidak ada seharipun tanpa pertengkaran diantara kedua putrinya itu. Segala hal
maupun barang dapat diperebutkan ataupun diributkan oleh mereka. Dan tidak ada
seorang pun yang mau mengalah.
“Kali ini apa yang
kalian ributkan?”
“Frea merebut jepit
rambut yang sedang aku kenakan, Bu.”
“Tidak ... Daila
yang mengambilnya diam-diam berbulan-bulan lalu dariku.”
“Itu tidak benar.
Aku pernah bilang meminjam padamu.”
“Kapan?”
“Su ... sudah lama.
Kau pasti sudah lupa.”
“Hentikan! Frea, mungkin kau dapat meminjamkannya pada
adikmu.”
“Tidak Bu, sudah
terlalu lama. Lagipula aku ingin memakainya, dan akan sangat cantik di
rambutku. Kau tahu kan Daila, kalau hadir dalam parade itu sangat penting.
Siapa tahu, Dux of Swaggart hadir.”
“Ibu....” rengek
Daila.
“Pakai jepit rambut
yang lain! Ibu bosan menengahi pertengkaran kalian!”
Fiona beranjak
menuruni tangga kayu berukiran. Meninggalkan selasar lantai dua. Mulutnya
komat-kamit mengatakan kata-kata kesal terhadap kedua putrinya dengan suara
hampir tak terdengar.
“Dan Daila, sudah
berapa kali ibu katakan. Tidak sopan memanggil kakakmu hanya dengan namanya.
Panggil Frea kakak!” Ucap Fiona dengan tegas sebelum ia benar-banar tidak
terlihat.
“Kau dengar itu adik! Dan keahlian dustamu tidak ampuh
untuk mengalahkanku.”
“Kau jahat! Lagipula, sejak kapan kau kembali peduli
pada remeh temeh parade dan pesta?”
“Sejak hari ini. Aku putuskan untuk kembali. Aah ...
ternyata aku cukup rindu menjadi pusat perhatian.”
“Kau tidak sungguh-sungguh kan?”
“Kau takut tersaingi?”
Frea menatap tajam mata Daila. Jelas sekali adiknya
itu terkejut dan merasa terancam kalau sampai Frea kembali. Selama beberapa
tahun terakhir semenjak Frea menarik diri saja, Daila belum bisa mengalahkan
pamor dan ketenaran kakaknya sebagai lady idaman setiap gentlemant.
“Tenang saja, karena aku tidak pernah menanggapmu
saingan. Ah ya ... kau belum pantas ku anggap saingan, itu maksudku.”
“Kau jahat!”
“Panggil aku kakak! Tidak sopan!”
Frea meninggalkan Daila yang terbengong-bengong tidak
percaya sekaligus kesal. Bagaimana mungkin ia bisa kalah lagi dari Frea,
pikirnya dalam hati. Sekaligus merasa kalau kedua orangtuanya pilih kasih.
Lebih menyayangi Frea dibanding dirinya. Tapi ada yang lebih penting dari semua
itu, kalau ia sangat terancam dengan niat kembalinya Frea.
°The
Davian°
Meja makan telah terisi penuh oleh
seluruh anggota keluarga. Daila yang malas-malasan dalam menyantap roti gandum
dengan isi daging sapi panggang, justru sangat asik memainkan rambut kuningnya
yang panjang dan sedikit ikal. Nyonya seablert menatap kesal kepada putri
bungsunya itu. Ia paling benci bila ada yang memainkan makanan. Seakan tidak
menghargai kerja keras petani hingga gandum itu dapat dibuat roti oleh pelayan,
dan barulah dapat terhidang di atas meja makan.
“Ibu ... boleh aku menyudahi
sarapanku?”
“Tidak! Habiskan makananmu!”
“Aku sungguh sudah kenyang, Bu.”
“Kenyang? Bahkan menyentuhnya saja
belum.”
“Aku takut gemuk bu.... Bagaimana
kalau aku makan buah saja ya?”
“Habiskan rotimu dulu! Jangan
membuang-buang makanan! Kau tahu roti itu dibuat dengan proses yang panjang,
hingga akhirnya tersedia diatas piringmu
kan?”
“Ya ... ya.... Ibu akan mengatakan
bagaimana proses gandum ditanam, hingga bisa dibuat roti oleh pelayan, dan bla
... bla ... bukan? Ibu sudah sering mengatakannya.”
“Lantas, kenapa kau selalu
membantah?”
“Itu karena....”
“Selalu seperti ini disaat makan,”
Keluh Verrel Seablert.
Pertengkaran itu akhirnya
berhenti. Daila dengan terpaksa harus menghabiskan sarapannya. Fiona tersenyum
puas, karena memenangkan perdebatan dengan Daila. Untuk sesaat, suasana tenang
tercipta diruang makan. Sedangkan Frea sendiri, sejak awal tidak berminat
berada dalam pertengkaran adik dan ibunya. Ia lebih memilih makan dengan
tenang, sama seperti ayahnya.
“Frea ... ayah dengar semalam kau
mimpi buruk lagi?”
“Sepertinya begitu,” Frea
tersenyum berusaha tegar.
“Apa ayah perlu memanggil dok....”
“Tidak perlu,” Potong Frea, “Bisa
ku atasi.”
“Well, baiklah. Ngomong-ngomong
apa kau dapat menemani ayah berlatih memanah pagi ini?”
“Tentu. Aku tidak memiliki rencana
apapun hari ini.”
“Kau memang tidak punya rencana
apapun selama empat tahun terakhir!”
“Ah ya ... aku lupa. Aku tidak
sepertimu yang selalu menghabiskan waktu di butik untuk menguras uang
keluarga.”
“Kita ini bangsawan, sudah
seharusnya hidup seperti itu kan? Aku sempat berpikir, apa kau benar-benar
bangsawan? Apa kau benar-benar anak ayah dan ibu?”
“Kau bisa melihat siapa yang lebih
mirip. Aku atau dirimu dalam hal bersikap. Ah ... ya, aku dengar kau belum bisa
menyamaiku. Padahal aku sudah memberimu waktu empat tahun untuk lebih baik.”
“Frea ... Daila ... hentikan!”
Sentak Verrel.
“Maafkan aku, ayah.” Frea
memberikan senyum kecil inocent.
“Baiklah ... bagaimana? Kau mau
menemani ayah berlatih?”
“Bagaimana mungkin aku menolak.”
“Bagus.”
“Tidak seharusnya kau selalu
mengajak Frea berlatih. Ia Lady, bukan gentleman.”
“Apa aku salah, Fiona? Kita kan
tidak punya anak laki-laki. Lagipula, Frea tidak keberatan kan?”
“Tentu. Aku tidak keberatan.”
“Makanya, kau harus segera menikah
agar ayah memiliki anak laki-laki. Benar kan Bu, Yah?”
Fiona dan Verrel diam saja. Tidak
menanggapi sindiran Daila terhadap Frea. Justru, Verrel mengendurkan celana
agar dapat bernapas lebih lega. Karena faktor usia, beberapa tahun terakhir,
tubuh Verrel kelebihan beberapa kilo berat badan. Meski dia masih terlihat
gagah, selain aura bijaksana yang semakin tua semakin menarik.
Walaupun usia putri sulungnya itu
22 tahun. Tetapi, mereka tidak ingin sebuah pengalaman pahit terulang lagi.
Apalagi kala itu, cukup membuat mereka kewalahan dan menanggung malu di
kalangan bangsawan. Penolakan tegas yang memalukan berkali-kali dilakukan Frea
dengan perasaan tanpa dosa. Upaya yang Verrel lakukan dengan harapan putrinya
itu bisa melupakan masa lalu tragis.
“Aku pasti akan menikah. Tenang
saja.”
“Setelah menolak berapa banyak
lagi? Sampai sekarang saja, sudah enam pria yang kakak tolak bukan?”
“Karena mereka semua sama saja.
Tidak berbeda seperti....”Sebulir air mata menetes, tepat setelah ia
menundukkan kepala sambil menjejalkan roti dalam mulutnya.
“Dre? Pemuda pengangguran tidak
jelas yang kau pungut di pinggir jalan itu? Seleramu benar-benar rendah!”
“Apa kau bilang? Kupungut di
jalan? Kau pikir dia lebih hina dari pria-pria bangsawan yang kau kencani?”
“Oh ya, tentu saja!”
“Hentikan, Daila! Tidak perlu
dibahas lagi! Ayah yakin, suatu saat akan ada pria yang pantas untuk Frea.
Masalah cinta, tidak bisa dipaksakan. Kelak kau akan mengerti dengan semua yang
dilakukan kakakmu. Dia masih membutuhkan banyak waktu untuk melupakan masa
lalu.”
“Dan kau, Daila. Senang betul
membuat keributan diruang makan!” Fiona sedikit marah.
“Selalu aku yang salah.”
°The
Davian°
Matahari
baru saja mulai naik. Memberikan udara hangat di bulan Agustus. Rumput tumbuh
hijau terbentang di halaman belakang puri yang luas. Lebih kebelakang lagi,
terdapat hutan pinus. Titik air melembabkan rumput. Semalam hujan gerimis
selama satu jam masih meninggalkan titik-titik air itu dipermukaan rumput
jepang.
Frea
dan ayahnya, Verrel Seablert, telah berada di halaman belakang itu. Papan
target yang dipasang permanen bertahun-tahun lalu, sudah mulai terlihat usang.
Terlihat dalam waktu lama sudah jarang digunakan berlatih. Lubang-lubang bekas
tancapan panah, sudah mulai menghilang dimakan cuaca. Frea menggelung rambutnya
menggunakan tusuk konde perak berhias beberapa mutiara diujungnya. Ia sudah
berganti pakaian, tidak lagi mengenakan gaun seperti ketika sarapan. Kemeja
putih berlengan lebar, ikat pinggang kulit serta celana kulit hitam yang ketat
mengkilap. Setelan yang sejatinya dipakai oleh pria.
“Siapa yang akan memulai lebih
dulu?”
“Ayah dulu saja.”
“Oke....”
Tuan Seablert menarik anak panah
dan mulai melakukan sikap memanah. Ia menarik busur kebelakang, matanya
konsentrasi membidik sasaran. Berusaha agar anak panah itu dapat menancap di
bagian terdalam lingkaran yang berwarna merah itu. Tidak lupa, Tuan Seablert
menghitung kecepatan serta arah angin. Setelah ia rasa siap meluncurkan anak
panah, dengan kecepatan penuh, anak panah menancap pada papan sasaran.
“Yea ... lumayan. Walau panah ayah
berada di tengah sasaran. Tetapi, hampir menyentuh garis.”
“Cobalah kalahkan ayah!”
“Well ... apa hadiah bila aku
dapat mengalahkan ayah?”
“Apapun yang kau minta.”
“Oke....”
Dalam gerakan secepat kilat, Frea
membidik papan sasaran. Anak panah meluncur secepat angin. Tahu-tahu sudah
menancap tepat di tengah-tengah papan sasaran. Dengan nilai sempurna. Tuan
Seablert sempat terkesima, sungguh mengagumkan. Tiga detik kemudian, ia
memberikan tepuk tangan.
“Tidak ku sangka. Padahal, sudah
bertahun-tahun kau tidak berlatih.”
“Bakat tidak akan pernah hilang
bukan, Yah?”
“Andai kau laki-laki ... pasti
sudah menjadi komandan perang, atau mungkin seorang jendral....”
“Tapi, sayangnya aku wanita kan?”
“Kau tetap permata bagi ayah.”
Frea hanya membalas ucapan ayahnya
dengan senyuman tulus seperti biasanya. Sudah lama memang mereka tidak berlatih.
Frea yang semakin dewasa menjadikan mamanah bukanlah hal yang begitu penting
dan pantas lagi untuk dipelajari.
“Masalah hadiah ... apa benar ayah
akan memberikan apapun?”
“Kau ... tidak pernah melupakan
ucapan ayah.”
“Janji adalah janji bukan?”
“Ya ... ya.... Jadi apa yang kau
inginkan?”
“Untuk saat ini belum ada.”
“Baiklah.... Kalau suatu saat kau
sudah memiliki permintaan, akan ayah kabulkan.”
“Apapun itu?”
“Apapun itu.”
“Dan ngomong-ngomong ... apa kau
akan menghadiri parade siang ini?”
Kini mereka sudah duduk di kursi
taman yang terletak di sisi kiri tempat latihan memanah. Di bawah pohon
beringin besar yang rindang. Terdapat taman kecil yang ditanami bunga mawar dan
lily beraneka jenis, serta beberapa jenis anggrek. Bunga-bunga yang sebagiannya
ditanam oleh Fiona dan Frea dikala senggang. Bunga-bunga itu tidak ditata
secara jenis maupun warna, tetapi ditanam begitu saja dimana mereka suka.
“Aku rasa aku akan datang.
Lagipula, tadi pagi sudah terlanjur bertengkar memperebutkan jepit rambut pemberian
ayah. Daila memang sungguh menyebalkan! Bila meminjam, hampir tidak pernah ia
kembalikan, tanpa aku ambil paksa.”
“Seperti itulah adikmu. Tetapi,
walau bagaimanapun, ia tetap saudaramu.”
“Aku tahu, dan aku sangat
menyayanginya tentu.”
“Bagus ... kita semua akan
berangkat menonton parade, termasuk Margharet dan Hugo. Dan Frea, ayah senang
kau mau kembali kedalam pergaulan. Itu berarti kau sudah bisa mengubur masa
lalu itu. Ayah sendiri merasa bersalah dan merasa ikut andil dalam tragedi yang
menyebabkan kematian Dre. Andai ada yang dapat ayah lakukan selain kata maaf.”
“Aku sudah akan bisa mengatasinya,
Yah. Aku rasa, kami bukan ditakdirkan untuk bersama. Ayah juga tahu kalau kita
tidak akan pernah bisa melawan takdir, seperti yang selalu ayah katakan padaku.”
“Kau sudah lebih dewasa sekarang.”
“Tentu saja, aku 22 tahun, Yah. Walau
aku sempat menghilang. Jauh kedalam hatiku yang merana. Meratapi yang sudah
terjadi bukanlah hal bijak, akhirnya aku sadar tentang itu. Kisah kami indah,
dan biar itu selamanya indah. Menjadi petualangan terliarku dalam hidup, hingga
aku mengerti mengenai hidup.”
“Putriku....” Verrel memeluk Frea.
Air mata menetes dipipinya, yang segera dihapus.
“Ayah ... aku sudah bangkit.
Jangan mengkawatirkanku lagi, ya....”
“Tentu ... tentu, Putriku.” Verrel
melepaskan pelukannya, menepuk pundak Frea sambil tersenyum tegar, “Ah ... matahari
sudah mulai naik, sebaiknya kita masuk kedalam.”
“Ya....”
Verrel berlalu berjalan dibawah
rindangnya maple-maple berdaun merah yang rindang, yang ditanam dipinggir-pinggir
trotoar taman hingga menjadikannya rindang serta penuh warna. Frea tersenyum
menatap punggung ayahnya yang sudah tidak begitu tegap lagi seperti ketika Frea
kecil. Dipunggung itu, Verrel sering menggendongnya masuk ke puri selesai jalan-jalan
ditaman seperti hari ini. Terkadang Frea rela berpura-pura terjatuh saat
berjalan-jalan agar ayahnya itu mau menggendongnya, terkadang sampai membuatnya
tertidur dipundak ayahnya itu.
“Frea ... ayo!” Panggil Verrel
setelah agak jauh namun putrinya masih terpaku ditempat semula.
“Ya, Ayah....” ucapnya sembari
tersenyum.
Sebenarnya Frea tidak begitu suka
menonton parade maupun menghadiri pesta bangsawan empat tahun terakhir. Ia
menyadari kalau pesta-pesta itu suatu pemborosan. Selain itu, banyak lady yang
hanya berpura-pura menyukainya. Tapi, pada kenyataannya hampir semua mereka
saling membenci karena persaingan. Mereka seperti boneka-boneka porselen cina
yang memakai riasan tebal, penuh sandiwara, penuh kepalsuan. Menyembunyikan
siapa diri mereka sesungguhnya dihadapan orang lain. Satu hal lagi, istri-istri
bangsawan yang terlihat bahagia dan tegar itu kebanyakan wanita-wanita yang
rapuh didalam, mereka tidak benar-benar bahagia. Melainkan jiwa mereka hancur
perlahan, tanpa disadari.
°The
Davian°
No comments:
Post a Comment