Monday, October 22, 2012

Man i wish

Membicarakan cowo yang kita harapkan itu tidak salah.
tapi, tentu wanita menginginkan cowo yang perhatian dong. Kaya gw contohnya. Walau diusia seperempat abad.

Well ... sebenarnya gw gi menjalani suatu hubungan dengan seorang cowo. Sejujurnya, seperti perjodohan. hahahaha.... Masih ada gitu ya? Yupz ... masih ada.

Pasti sangat mengejutkan, Olief Lave gitu di jodoh-jodohin. Keluarga w ga suka banget kayanya liat gw jomblo bertahun-tahun. walaupun gw sendiri ga masalah dan ga pernah ngerasa bagaimana.... kaya musti nikah gitu. Enjoy my live aja.... dan gw lagi suka-sukanya merintis karir di dunia kepenulisan. sebenernya juga, gw punya cowo yang dah lama gw cinta. cuma belum berani bilang. Cowo yang selalu gw curhatin di sini.

Okey ... gw jalani....
masalah cocok atau engga, tentu gw punya sesuatu sendiri yg dapet meluluhkan hati w.
Tapi, jauh banget dari harapan. fisikly dia oke.... tapi, kurang peka banget. maksudnya, walau gw ga suka digombali, gw juga pengen dong di perhatikan. Menjadi pusat perhatian dia. Biar gw tahu perasaan dia itu gimana ma gw. Serius ... cinta ... atau cuma alakadarnya.

Kaya kemaren sore, dia sms katanya gi di Mie ayam deket rumah w. Trus dia bilang bsa ga nemenin?
Gw bisa aja ... cuma, kalau w jalan kaki kan jauh. Harusnya dia jemput dong ke rumah. Mana w ga bisa bawa kendaraan kan, masa iya naek ojek? Jaraknya nanggung banget kan....

Pulangnya dia jalan-jalan sendirian katanya di mall ... ga ngajak-ngajak gw gitu?
Gw jadi ga yakin ma dia. Brasa dia tuh ga serius dan ga perhatian.

Padahal kan w pengen sesekali kita pergi, makan mie ayam juga boleh. Trus nonton juga, biar kita tahu karakter masing-masing.
Kalau bisa jg dia sesekali kasih kejutan gitu, atau nyatain perasaannya. Ga suka gombal juga sih....

Hahahaha.... romantisme anak muda....
Gw juga kan pengen ngerasain sebelum yakin banget ma dia.
Ampe kadang w mikir, mending ma Vampir kaya Edward Cullen deh yang romantis dan jaga cewenya bener-bener. ketimbang ma manusia yg datar-datar aja kaya gitu. Vampir juga pan kalo caem, cool, romantis dan tajir mah oke juga. wakakakakak....

Tau deh ... w aja belum yakin ma perasaan w. belum nemuin perasaan deg-degan itu....

Thursday, October 11, 2012

Lavelyne Chapter 2; Dia Datang


LAVELYNE
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih

Chapter 2: Dia Datang
Hari sudah semakin sore, matahari mulai condong dan miring ke barat. Seikat Lavender dan Lily telah berada di genggaman Lavelyne, yang kini duduk di bawah pohon sutra persia yang besar, tinggi dan rindang. Ditemani kicauan burung di dalam sarangnya yang terletak di dahan-dahan pohon sutra persia.
Hamparan padang Lavender dibiarkan tumbuh subur tak beraturan. Aroma kerinduan tercium kuat. Lavelyne terpaku, betapa indahnya Purple Hall Palace. Kupu-kupu berterbangan di sekitarnya, cantik berwarna-warni, seperti bunga-bunga daisy yang berada di taman belakang yang tadi ia lewati.
Di bawah sutra persia yang berusia seratus tahun, Lavelyne merebahkan tubuhnya. Melepaskan semua perasaan gundah yang masih saja mengusik pikiran.
Tangannya telentang dan ia gerak-gerakkan seperti sayap kupu-kupu. Tidak peduli bila tubuhnya akan terasa gatal nanti. Langit biru dengan sedikit guratan awan tipis menjadi pemandangan indah matanya, dan burung-burung yang beterbangan.
Ia tertawa kecil, entah untuk mentertawakan apa? Yang semakin lama tawanya semakin besar dan riang. Isi pikirannya yang liar tak dapat terbaca. Namun, tatapan matanya kosong. Seperti seseorang di ambang kesadaran dan kegilaan. Ia tak peduli siapa dirinya, ia tak peduli tentang apapun.
"Rupanya disini, mempalai wanitaku. Tertawa tanpa tahu menertawakan apa?"
Lavelyne tidak berhenti tertawa, ia menatap Antony yang berada tepat diatas pandangannya. Sedikit senyum kemudian kembali tertawa. Antony mengikuti hal yang sama dengan Lavelyne. Mereka tertawa terbahak-bahak, tertawa sampai mengeluarkan air mata, sampai matanya terasa silau karena cahaya mentari senja.
Antony tahu apa yang dilakukan Lavelyne itu menandakan sesuatu, mereka memiliki kesamaan dalam cara-cara yang gila.
"Apa yang membuatmu gundah?"
"Tidak, bukan apa-apa."
"Sudah, ceritakan saja."
"Aku ... ah.... Kapan kau datang? Kenapa lama sekali?"
"Ya, kami terlambat berangkat sehari. Kamu tahulah betapa sulitnya menjelaskan tentang perasaan kepada orang yang sama-sama memiliki perasaan yang sama terhadap satu wanita."
"Kemudian, apa ia menerimanya?"
"Tidak, ia pergi dari istana. Kami menunggunya selama satu hari. Barangkali ia akan kembali dan ikut merestui pernikahan kita, namun ia tidak juga kembali."
"Aku sungguh merasa bersalah. Semua karena aku. Penyebab rusaknya persahabatan yang sudah seperti saudara itu."
"Tidak ada yang salah dengan dua orang yang saling mencintai. Oh malangnya ia tapi, aku tidak dapat merelakanmu untuknya."
"Aku juga tidak mencintainya. Cintaku hanya untukmu, bukan untuknya. Selain itu aku menganggap ia sebagai kakakmu."
Mereka saling bertatapan untuk beberapa waktu. Tangannya saling berpegangan erat.
"Aku tak akan mampu hidup tanpamu, Lavelyne cintaku." Antony meletakkan genggaman tangan di dadanya.
“Begitupun denganku.”
Detak jantung Antony dapat ia dengar dengan telinganya. Aroma tubuhnya sangat ia suka, aroma teh dan sedikit matahari. Berbaring di sisi kekasih yang di cintai sungguh nyaman dan hangat, di tambah aroma lavender yang semakin membuat rileks dan terhanyut dengan suasana yang terbentuk. Lavelyne semakin memeluk tubuh pangerannya, mencium aroma tubuh yang ia sukai.
"Aku suka aroma tubuhmu,"
"Akupun suka aroma tubuhmu, Sayang." Balas Antony.
Namun saat mereka akan berciuman, Lavelyne berbisik, "Kejar aku, bila berhasil kau boleh...."
Mata Antony yang sempat terpejam, kini langsung terbuka dan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud.
"Apa maksudmu?"
Saat Antony terbengong tidak mengerti, Lavelyne bergegas beranjak dan bersiap lari. Saat Lavelyne sudah mulai lari, barulah Antony mengerti dan lari untuk menyusul Lavelyne.
Lavelyne 1
Meski berlari dengan menggunakan gaun panjang yang ia angkat untuk memudahkannya berlari, larinya cukup cepat. Sampailah pada pintu masuk labirin.
Lavelyne masuk kedalam labirin itu, begitu pun dengan Antony. Di belokan ke tiga, sang putri telah kelelahan dan menghentikan larinya. Ia berhasil terkejar dan tangannya teraih oleh Antony.
"Sebagai seorang putri, larimu cukup cepat. Sekarang akan lari kemana lagi?" Antony menyudutkan Lavelyne ke sudut labirin.
Dalam labirin tidak ada yang dapat melihat mereka. Labirin setinggi lima meter dan sangat luas. Namun, jalannya cukup sempit untuk di lalui dua orang.
"Aku menagih janjimu!"
"Ja ... jangan. Bagaimana bila ada pelayan yang melihat?"
"Tidak ada siapapun di sini. Janji tetaplah janji."
"Jadi...."
"Jadi...."
Lavelyne 1
Mereka kembali kedalam istana. Para pelayan telah gusar mencari keberadaan mereka. Yang datang dengan tersenyum-senyum gembira.
Kini segala perasaan ragu Lavelyne menghilang seperti uap. Mereka berharap, Darwin dapat melupakan segalanya kemudian, memilki pujaan hatinya sendiri.
Mereka kembali kedalam istana tepat sebelum matahari terbenam. Semilir angin sungguh terasa merinding. Suhu udarapun mulai turun beberapa derajat.
“Lavelyne, dari mana saja kalian? Ibunda mencarimu kemana-mana.”
“Kami sedikit berbincanng Ibunda Ratu Claire. Ngomong-ngomong, apa Putri Clara sudah datang, ibunda?”
“Belum putriku, mungkin baru besok.”
“Ya, mungkin paman Linch masih sibuk.”
“Mungkin saja, pertambangan pamanmu itu cukup makmur. Lavelyne putriku, dan pangeran Antony tentu saja, ikuti aku!”
Mereka berjalan menuju ruangan yang telah disediakan.
“Cobalah pakaian pernikahan ini! Apa perlu untuk diperbaiki atau tidak,” Claire memberi isyarat kepada perancang pakaian istana untuk membawakan setelan untuk Antony serta gaun untuk Lavelyne.
Mereka mencoba pakaian itu masing-masing. Saat Lavelyne keluar untuk menunjukkannya. Sungguh mempesona, seperti seorang peri yang sedang terbang di padang bunga daisy. Mengagumkan.
“Putriku benar-benar cantik,” Claire memeluk Lavelyne.
“Benarkah ibunda?”
“Sangat cantik,” Claire tersenyum kemudian, menoleh ke Antony. “Bagaimana menurutmu?”
“Aku sampai tidak dapat berkata-kata.”
Gaun pernikahan berwarna ungu berlapis sifon pink, di bagian bawahnya terdapat renda yang tidak begitu banyak. Berlengan pendek dengan kerut menyerupai renda berukuran besar.
Mahkota yang dipilih pun mahkota berukuran kecil berhiaskan batu mulia, seperti rubi, berlian, safir serta emerald yang memiliki warna senada dengan gaun Lavelyne. Bebatuan itu di bingkai dalam bingkai emas putih murni yang berkilauan.
Raja Hilaire Aldrich yang lewat di depan ruangan mereka langsung masuk kedalam. Ia menatap putrinya dengan senyuman, penuh haru. Beberapa hari lagi, putri semata wayangnya akan hidup di tempat lain. Ia harus merelakan anak satu-satunya itu jauh dari dirinya.
“Kau sungguh mengagumkan dengan gaun itu. Waktu sungguh cepat berlalu. Hari dimana kau harus tinggal jauh dari rumah, akhirnya tiba juga.” Ia menarik nafasnya.
“Ayahanda ... kau membuautku ingin menangis,” ia berjalan menghampiri ayahnya.
Mereka berpelukan. Air mata haru tidak kuasa terbendung lagi. Segala emosi berbaur menjadi satu didalam dada. Claire ikut terharu dan menitikkan air mata, ialah ibu yang melahirkan serta merawat Lavelyne hingga saat ini.
“Ibuda ratu dan Ayahanda raja tidak perlu hawatir. Aku akan menjaga Lavelyne dengan segenap jiwaku.”
“Aku percaya kau akan melakukan itu semua. Melindungi putri kami dengan sepenuh hati.” Raja Hilaire menepuk pundak Antony.
Antony tersenyum, betapa ia merindukan kebersamaan keluarga yang hangat seperti ini. Ia pasti akan bahagia, selain menikah dengan wanita yang ia cintai, juga mendapatkan keluarga lengkap yang hangat, penuh kasih sayang.
Lavelyne 1

Lavelyne chapter 1: Purple Hall Palace


Lavelyne
BOOK 1
Writed by: Olief Lave/
Kholifah fitrianingsih

Cerita ini terimajinasi dari mimpi yang menemani hampir setiap malam tanpa bintang, malam tak berkawan, imajinasi tanpa batas masa kecilku. Negeri, keluarga, kekasih, cinta, lawan dan kawan imajinasi.
This story writed by Olief Lave for my dear Antony.

1. Purple Hall Palace
Pertengahan musim panas 1786, kesibukan rakyat dua negara besar yang bersebelahan untuk sebuah perhelatan akbar abad ini. Peresmian penyatuan pernikahan antara Lavelyne Hilaire Aldrich princess of Inciba dengan putra mahkota Antony Wyatt Prince of Alcander.
Lavelyne dan Anthony telah menikah saat mereka masih usia kanak-kanak, Lavelyne yang saat itu masih berusia 11 tahun dan Antoni 13 tahun. Mereka sudah saling cinta sejak pertama kali bertemu di acara makan malam yang diadakan di Inciba. Cinta pandangan pertama yang terjadi tiga tahun sebelumnya.
“Ibunda, apakah gadis cantik yang turun dari tangga itu adalah peri?” Ucap Antoni kepada Ratu Venus saat ia pertama kali melihat Lavelyne.
Pertanyaan polos itu membuat semua tamu undangan yang berada di ruang makan tertawa terbahak-bahak. Termasuk Raja Hilaire dan para mentrinya, Raja Wyatt dan adiknya, Pangeran Baldwin, serta Ratu Venus, Putri Viona, dan Ratu Claire yang terkekeh. Sementara, Lavelyne tertunduk malu. Sejak saat itu, mereka menjadi akrab dan sering bertemu.
Antony langsung mengatakan kepada kedua orang tuanya saat malam hari lepas masa kanak-kanak yang akan ia jalani.
“Ibunda, aku akan menikah dengan Lavelyne setelah aku dinyatakan sebagai pria dewasa.” Ucapnya seperti pria dewasa berusia 20 tahun yang sudah mantap untuk menikah.
Sudah peraturan sebagai anggota keluarga kerajaan Alcander yang mengharuskan untuk segera menikah selepas upacara melepas masa kanak-kanak. Akan tetapi mereka masih tinggal terpisah, dan bertemu hanya di musim panas untuk menumbuhkan perasaan cinta.
Mereka baru tinggal bersama setelah upacara peresmian pernikahan, setelah mempelai wanita berusia 18 tahun. Barulah pada saat peresmian pernikahan itu, pesta diadakan dengan meriah.
Putri Lavelyne adalah putri tunggal dari Raja Hilaire Aldrich III dan Ratu Claire Aldrich,  dari kerajaan Inciba, generasi ke empat dari kerajaan yang telah berdiri lebih dari 100 tahun.
Sedangkan Putra Mahkota Antony telah kehilangan ayah dan ibunya secara misterius, saat ia berusia 13 tahun, hanya dua bulan berselang setelah pernikahan Antoni. Dan tak ada yang dapat ia lakukan untuk mencarinya. Raca Wyatt Alcander II dan Ratu Venus di kabarkan menghilang atau tewas dalam perampokan yang terjadi ketika perjalanan pulang dari undangan jamuan pengukuhan Raja baru yang diadakan di negeri Sahabat. Sejak itu, ia di asuh oleh Baldwin Abelard, pamannya.
Pernikahan mereka yang akan di langsungkan tiga hari lagi, yaitu Minggu 15 Agustus 1786 adalah penyatuan antara dua kerajaan besar yang akan saling memperkuat, dan peristiwa bersejarah yang indah itu akan di laksanakan di Purple Hall Palace yang terdapat di pedesaan dengan padang savana yang luas, istana musim panas sekaligus tempat yang sering dikunjungi Lavelyne saat musim panas, dengan tak lupa mengundang Antony serta. Purple Hall Palace bukanlah istana inti kerajaan Inciba, karena Istana Inciba letaknya di tengah kota dan memerlukan waktu empat jam dari sana untuk menuju Purple Hall Palace.
Banyak kepala negar yang berspekulasi kalau ini adalah pernikahan politik, gosip itu tersebar di beberapa negara tetangga serta menimbulkan berbagai spekulasi serta ketakutan terancamnya negara mereka karena mereka mengira penyatuan Inciba dan Alcander dilakukan untuk menaklukkan dunia. Namun gosip tersebut berangsur melemah dan menguap setelah mengetahui fakta sebenarnya yang di ceritakan dari mulut ke mulut dikalangan rakyat Inciba dan Alcander yang telah bertahun-tahun tahu bahwa Lavelyne dan Antony telah saling mengenal selama sepuluh tahun, serta telah saling mencintai sebelum mereka dinikahkan saat masih kanak-kanak.
Lavelyne 1
Dua hari sebelum hari bahagia itu, Lavelyne terlihat gelisah, melamun di balkon lantai tiga Istana Tengah Purple Hall. Tatapan matanya kosong saat memandang bunga-bunga lavender yang bermekaran dan bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi yang lembab, burung-burung beterbangan bolak-balik bergantian melepaskan panas dan dahaga dengan mencelupkan diri sambil meminum jernihnya air mancur yang terdapat di halaman depan.
Jalan berubin yang di lalui kereta kuda telah di bersihkan hingga tiada debu maupun daun yang hinggap, walau kereta kuda pengangkut bahan makanan, bunga, kain-kain dan sebagainya bergantian berlalu. Suasana teramat sibuk seperti di tengah pasar kota, semua orang tergesa-gesa di kejar waktu yang semakin mendekat, namun kereta kuda rombongan mempelai pria belum juga terlihat sampai.
"Apa yang kau risaukan putriku?"
Suara lembut tak mengagetkan mengiringi sentuhan tangan yang halus dan hangat di bahu Lavelyne.
"Ibunda Ratu Claire, hormat ananda pada Ratu." Lavelyne memberi  salam hormat sambil sedikit membungkuk dan mengangkat gaun coklat mudanya yang panjang.
"Sudahlah, apakah di tengah kesibukan seberti ini, tatakrama kerajaan masih di pergunakan?" Canda Claire, "Dan bukankah kita seperti tak terlihat saat ini?" Tambahnya dengan berbisik.
Lavelyne tersenyum kecil mendengar lelucon garing yang di ucapkan Claire untuk menghiburnya yang gelisah.
"Jadi apa yang membuatmu murung menjelang hari bahagia?"
Lavelyne berpikir  sejenak, apakah ia akan pantas menanyakan hal itu kepada Ibunya di saat seperti ini? Menceritakan semua kegelisahannya. Namun bukankah Claire adalah tetap seorang ibu kandung yang selalu dapat mendengarkan keluh kesah Lavelyne?
"Apakah ... yang ku lakukan ini benar? Apakah pernikahan ini benar, Ibunda?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Aku ragu."
"Ragu?" Tanya Claire dengan alis mata yang naik sebelah.
"Bukan ... bukan karena aku tak mencintai Antony," Lavelyne langsung mengoreksi, "Aku sangat mencintai Antony tapi, aku takut keputusan kami ini tidak benar."
"Mengapa kau menganggap ini tidak benar? Bukankah ini yang kau impikan sejak bertahun-tahun lalu? Menunggu hingga usiamu 18 tahun."
"Aku takut pernikahan ini akan melukai seseorang."
"Siapa?" Selidik Claire.
"Ah ... tidak ada," jawab Lavelyne sambil tertunduk.
"Putriku, aku tahu seperti apa hari-hari menjelang pernikahan, semua terasa berkali-kali lipat lebih berat dan gelisah. Bertanya serta berfikir keras apakah keputusan itu benar? Karena takut salah memilih. Hal itu teramat wajar,  putriku." Claire merapikan rambut putrinya,  "Entah mungkin ini terakhir kalinya ibu merapihkan rambutmu, dan kelak akan ada Antony yang menggantikannya. Namun, perlu di ingat bahwa kau adalah seorang putri yang setiap gerak-geriknya menjadi gosip. Ibu tidak ingin orang-orang bergosip bahwa kau terpaksa menerima pernikahan ini, karena melihat raut wajahmu yang merana."
"Aku mengerti, Ratu."
Dengan cepat Claire memeluk Lavelyne, hangat dan harum bunga Lily tercium dari tubuh Clair. Aroma khas yang di hafal betul oleh Lavelyne.
"Keputusanmu untuk menikah dengan Antony adalah tepat. Menikah dengan saling cinta itu yang paling diharapkan semua pasangan, Putriku. Dan tak perlu memikirkan yang lainnya."
Claire perlahan melepaskan pelukannya, dan meninggalkan putrinya di balkon agar dapat berpikir jernih.
Setelah mendapatkan ketenangan selama tiga menit yang hening, Lavelyne beranjak menuju lantai dasar untuk melihat semua persiapan yang telah di lakukan di tempat yang akan menjadi tempat pernikahannya.
Dengan menuruni tangga kayu yang sedang di poles supaya mengkilap, ia berdiri memandang hall yang berada tepat di depan matanya, para pelayan yang terlihat sibuk seakan tak melihat kehadiran Lavelyne hingga dua orang pelayan yang sedang mengelap tangga kayu menyadari kehadirannya. Hal itu membuat seluruh pelayan yang ada, memberikan salam bungkukan kecil. Lavelyne membalas salam mereka,  sehingga kegiatan dapat berjalan normal kembali.
Memandang setiap inci ruangan hall yang megah dengan segala nuansa ungu, pink, putih dan emas. Siapapun akan berdecak kagum dengan segala ke-elegan-an dan kemewahannya apalagi, bila semua sudah selesai saat seluruh ruangan berhiaskan banyak bunga-bunga menawan dan harum.
Tempat lilin dari kristal yang memantulkan cahaya perak serta spektrum pelangi yang terbentuk, dinding bercat ungu, gazebo dari kayu berpahatan yang bagian bawahnya lurus persegi sedangkan atasnya membentuk lengkungan yang saling terhubung seperti bagian atas simbol cinta, yang berada tepat lurus di hadapannya. Gorden-gorden berwarna ungu dari bahan sutera dan renda di tiap sisinya yang di ikat dengan kain pink yang dibentuk pita. Langit-langit hall yang telah selesai di cat ulang dengan warna putih dan emas di bagian ukirannya, kaca-kaca jendela, dan meja-meja prasmanan yang ditutup kain yang berkerut-kerut.
Semua terlihat sempurna sesuai keinginan Lavelyne, sesuai dengan keseluruhan kepribadiannya yang elegan.
Setelah puas memandang semuanya yang terlihat sempurna, Lavelyne keluar melalui pintu samping yang langsung terhubung dengan lorong. Menuju tempat paling nyaman di Purple Hall Palace, tempat yang paling tepat untuk menenangkan pikiran.
Tempat itu terletak tepat beberapa puluh meter di belakang sayap kanan istana. Setelah melewati taman yang berada di belakang sayap kanan. Taman yang sangat terawat, serta luar biasa luas. Taman yang ditanami daisy berwarna-warni yang di susun beraturan, morning glory yang merambati gajebo yang di bentuk seperti lorong sepanjang lima meter yang berawal dari bagian belakang sayap kanan.
Pohon beringin besar yang di pagar tembok sekelilingnya agar orang dapat duduk-duduk disitu. Pada bagian sisi jalan ubin yang bertanah, ditanami white lily dan belladona.
Di ujung taman terdapat gajebo yang terbuat dari kayu, kemudian di perindah dengan cat berwarna putih. Atapnya sendiri adalah genteng. Didalam gajebo terdapat empat kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar. Tempat itu sering digunakan sebagai tempat minum teh sambil bersantai menikmati keindahan taman.
Pada bagian paling ujung istana, terdapat sebuah labirin raksasa yang terbuat dari tanaman merambat. Tingginya sekitar lima meter. Luasnya berhektar-hektar. Sedangkan bentuknya sendiri adalah kotak persegi dan didalamnya terdapat jalan yang rumit. Tidak ada seorangpun yang ingin masuk kedalam labirin itu bila ia tidak mengetahui jalan keluar maupun rutenya. Labirin Aldrich di buat oleh Raja Aldrich I, generasi pertama Raja dari Inciba.
Labirin Aldrich menyimpan banyak misteri serta rahasia yang hanya diturunkan dan diberitahukan kepada calon penerus tahta kerajaan. Dahulunya, Purple Hall Palace adalah istana inti tempat tinggal Raja Aldrich I, dimana pusat menjalankan segala pemerintahan dilakukan di sini. Akan tetapi semenjak kakek Lavelyne yang menjadi raja, pusat kepemimpinan di pindahkan ke City Palace untuk lebih dekat dengan rakyatnya.
Lavelyne 1

Wednesday, October 10, 2012

Popay untuk Olief


Popay untuk Olief
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih
Was pubished on: http://www.olief.lave@m.facebook.com

Episode III: Waktu Berjalan Lambat
pukul sembilan malam, Ardi mengantarku pulang sampai depan gank masuk kontrakan. Hujan gerimis telah mengguyur sejak pukul lima sore tadi.
"Thanks, hati-hati di jalan, say!"
"iya... Kamu juga hati2. Mau aku antar sampai depan rumah?"
"ga perlu... Kan payungnya cuma ada 1"kataku sambil menunjukkan payung lipat yg di pinjamkan oleh tante Ernes
"satu payung berdua kan lebih romantis, seperti dalam film-film jaman dulu itu"
"hehehe... Kamu ini!! aku turun yah.."sambil membuka pintu mobil dan mengembangkan payung berwarna biru langit polos."hati-hati di jalan"kataku sekali lagi mengingatkan sebelum turun.
"iya"jawabnya singkat sambil tersenyum
setelah itu aku turun dan menutup kembali pintu mobil. Sesaat sebelum mobil kembali jalan, Ardi melambaikan tangannya padaku. aku membalas lambaiannya. setelah itu VW kodok hitam itu pun melaju dan semakin lama semakin menjauh dan hilang dari pandangan mataku di kegelapan malam dan rintik hujan yang semakin besar.
Aku berbalik dan berjalan menyusuri gank menuju kontrakan yang hanya berjarak enam rumah dari depan gank. Sepanjang gank yang hanya di terangi oleh penerangan seadanya itu sungguh terasa sepi dan remang. Kalau lebih malam lagi, aku takkan berani berjalan seorang diri.
Sampai depan pintu kontrakan, ku lihat pintu tak tertutup rapat. Mungkin tante Imelda sudah pulang. Aku langsung masuk dan manuju kamarnya
"tante...tante imelda," panggilku.
Ia tak menyahut, aku sedikit khawatir. Aku takut bukan tante Imelda yang ada didalam rumah. Pintu kamarnya tak tertutup rapat, dari dalam kamar terdengar erangan. Dari sela pintu kamar ku intip keadaan di dalam kamar tante. wanita berambut gelombang berwarna coklat itu kejang-kejang serta dari dalam mulutnya mengeluarkan busa. Aku langsung berlari menghampirinya.
"Tante...tante Imelda kenapa?"
Ia terus kejang-kejang, aku Panik dan tak tau apa yang harus kulakukan. aku berteriak meminta tolong agar ada tetangga yang datang untuk menolong. Namun belum ada yang datang seorangpun.
Ku ambil hp didalam tasku dan langsung menelepon Ardi. Syukurlah ia langsung mengangkatnya.
"Iya Sayang, ada apa?"
"Tante... Tante..."
"Tante kenapa?"
"Aku ga tau tante kenapa. Kulihat ia sudah kejang2 dan dari mulutnya keluar busa" aku mencoba menerangkan, sambil terisak-isak.
"oke, aku langsung kerumah kamu"
Tiba2 sesuatu terjatuh dari tangan tante dan menggelinding ke kakiku. Aku langsung mengambilnya.
"Suntikan!"
"Apa maksud kamu?"
"Tante over dosis"
"Lave, aku langsung ke sana"
Tubuhku lemas, tak tau apa yang harus kulakukan. Aku terhempas jatuh tak kuasa menerima apa yang terjadi, tiba-tiba seseorang menyanggah tubuhku hingga tak terhempas ke lantai. Ibu Maryoto yang menyangga tubuhku, dia adalah tetanggaku.
"Sabar ya neng!" Sambil memelukku.
Sedangkan pak Maryoto memeriksa keadaan tante Imelda yang sudah tidak kejang-kejang lagi.
-Popay untuk Olief-
"Tidurlah sayang... Biar aku yang menjaga keadaan tante"
"Aku tidak mengantuk"
"Sudah tidur saja! Besok ada ujian kan?" Ardi menyandarkan kepalaku di pundaknya.
Di bangku depan ruang ICU kami duduk. Dokter baru saja memberi tahukan kalau keadaan tante masih kritis.
"Apa tante bisa selamat? Aku ga mau jadi sebatang kara..." air mata kembali mengalir dipipiku. Aku sembunyikan kepalaku di balik punggung Ardi.
"Kita berdo'a semoga tante bisa selamat"
"Tadi, waktu sungguh berjalan lambat. Tiap detik aku takut kehilangan tante."
"Aku tau, seakan mobil yang kukendarai tak juga sampai."
"Ardi... Maaf merepotkanmu"
Ardi membalikkan tubuhnya dan aku pun melepaskan pundaknya. Kami saling bertatapan, tangannya lembut menghapus air mataku.
"Jangan menangis lagi ya say... Dan kamu ga perlu meminta maaf ataupun sungkan padaku"
"maaf dah buat bajumu basah dengan air mataku"
"tapi ga bercampur ingus kan?"
Aku tersenyum mendengar kata-katanya barusan.
"Sedikit"
"ih... Lave jorok ya?" Dia menggodaku, "Tapi ga apa-apa deh, dah terganti dengan senyummu. Smua maaf mu di terima, sekarang kita berdoa untuk kesembuhan tante yah!"
Kami pun berdo'a untuk kesembuhan tante. Lagi-lagi air mataku menetes. Aku sungguh tak ingin kehilangan tante
-Popay untuk Olief-
*Bersambung...

Popay untuk Olief

POPAY UNTUK OLIEF
Oleh: Kholifah Fitrianingsih/ Olief Lave .
http://facebook.com/olief.lave


Episode II: A Different Life

“Lavender… buka pintu!! Lave!!”
Terdengar teriakan seorang wanita disertai gedoran pintu, kulirik jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul tiga subuh. Tante, kapan ia akan kembali seperti dulu sebelum suaminya pergi bersama mantan pacar dengan kabur membawa semua kekayaan warisan kakek.
Bergegas kubuka pintu, tante Imelda mabuk seperti biasanya. Dengan di bopong tante Sandra, sahabat yang telah menjerumuskan ia kedunia malam.
“Lama sekali!! Kau tuli ya?!” bentaknya.
Aku hanya diam, sambil menatap dengan tatapan tidak suka. Percuma jika kali ini aku menjawab perkataan orang yang sedang mabuk, hanya akan memicu keributan yang kan membangunkan para tetangga yang kemudian datang kerumah kontrakan kami yang kecil.
“Oke cin, besok gwe jemput lagi”
“Bubay Sandra…” sambil berpelukan dan cipika-cipiki
Tangan tante Imelda melambai mengantar kepergian sahabat karibnya, setelah itu pintu ditutup. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju kamar, sesekali hampir tersungkur diatas lantai karena tubuh dan jiwanya sudah tak selaras lagi. walau aku melihat tapi tak ku bantu ia menuju kamarnya -Sedih- aku sedih melihatnya setiap hari seperti itu. Diusia yang sudah tak muda lagi, 33 tahun. Hanya ia satu-satunya keluarga yang kumiliki.
Tempat tidur, akhirnya ia sampai diatas tempat tidur. Ia jatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia tertawa dan mengoceh tak jelas persis orang sinting. Bahkan pintu kamarnya tak sempat ia tutup. Setelah kelelahan, barulah ia tertidur –hening- akhirnya.
Aku masuk kedalam kamar tante untuk menyelimuti tubuhnya yang memakai pakaian super mini yang tak sempat ia ganti tadi.
-Popay untuk Olief-
Pukul sembilan pagi, aku sudah bersiap untuk berangkat kuliah namun kulihat tante Imelda belum juga keluar dari kamar. Ku buka pintu kamarnya, seorang wanita bertubuh tinggi, langsing itu masih terlelap diatas tempat tidur. Rambut panjang bergelombang yang ia warnai dengan warna coklat itu terlihat berantakan dan menutupi wajah cantiknya.
Aku berjalan mendekat menuju tempat ia terbaring, ku panggil-panggil namanya berkali-kali namun ia tak juga bangun.
“Tante, tante Imelda… bangun” sambil kugerak-gerakan tubuhnya.
“heemmm…” ia bergumam
“Bangun, sudah jam sembilan”
“Brisik, gwe masih ngantuk!!”
“Tante, tolonglah… ada yang mau ku bicarakan”
“Apa? Kalo lu butuh uang ambil sendiri di tas gwe”
‘Bukan, bukan itu tante…”
“lalu apa?” nada suaranya meninggi
“Sampai kapan tante seperti ini?”
“Seperti ini bagaimana?” ia pun mulai bangkit untuk duduk
“Lave rasa tante sudah mengerti apa maksudku?” tante Imelda hanya terdiam. “Sampai kapan tante? Berangkat petang, pulang pagi dengan keadaan mabuk terkadang tante tak pulang dan ketika pulang diantar oleh pria hidung belang”
“DIAMM!! LU ANAK KECIL TAU APA?”
“Lave sayang sama tante, hanya tante yang Lave punya… tidakkah tante tau itu?”
“INI DEMI KITA, DEMI KEHIDUPAN KITA!! DEMI LU JUGA LAVE!!”
“Apa? Demi Lave? Demi kita? Bukan, tapi ini kebodohan tante sendiri yang tak mau menerima kenyataan hidup. Oom memang telah mengecewakan tante, melukai hati dan merampas smua kekayaan peninggalan kakek, tapi seharusnya tante bangkit dan melanjutkan hidup!”
“LU GA AKAN MENGERTI LAVE!! LU GA AKAN NGERTI!! DAN GA ADA SEORANGPUN YANG MENGERTI LUKA HATI GWE SELAIN GWE” air matanyapun menetes
“Lave memang tak mengerti tante, tapi lave mohon tante”
“kalau gwe berenti, bagaimana kita bisa hidup?”
“kita cari cara lain, cari pekerjaan lain tante!”
“PEKERJAAN LAIN? PEKERJAAN APA LAVE?”
“Apa saja tante, yang penting halal”
“Lu pikir mudah cari kerja?”
“Andai tante dulu tak berfoya-foya dengan tabungan peninggalan Ayah, kita bisa hidup layak walau sederhana tante”
“Jadi lu ga ikhlas? Ga tau diri lu! Dah gwe besarin juga”
“Cape ngobrol sama tante!” kemudian aku pergi meninggalkannya.
Terdengar suara umpatannya menyertai kepergianku. Dengan berlinang air mata aku berjalan menuju halte bis yang berjarak limaratus meter dari rumah.
-Popay untuk Olief-

Pertengkaranku dengan tante tadi sungguh terasa seperti sebuah kaset vidio yang terus diulang-ulang dalam otak dan ingatanku. Tante, dia bilang aku tak akan pernah mengerti perasaannya. Dia pikir aku tak sedih ketika kehilangan Ayah dan Bunda dalam kecelakaan mobil ketika kami harus pindah dari Anyer ke Jakarta untuk menyelamatkan usaha kakek yang hampir bangkrut, hanya aku yang selamat dalam kecelakaan itu. Kemudian diasuh oleh seorang tante yang setengah gila. Ketika itu usiaku baru sembilan tahun, dan sungguh aku terkejut bukan main ketika melihat keadaan tante Imelda yang kusayangi dulu, tiba-tiba berubah seperti itu.
Beruntung aku masih bisa sekolah, berkat tabungan pendidikan yang Ayah dan bunda sediakan untukku hingga aku bisa terus sekolah. Barangkali firasat orang tua pada anaknya kelak
Sepanjang perjalanan diatas bis aku terus berpikir, tiba-tiba teringat pada Popay. Aku jadi kangen sama dia, seperti apa ia sekarang? Ku genggam kalung yang menggantung dileherku.
-Popay untuk Olief-
Direrimbunan pohon bakau ia telah menungguku, Seorang anak lelaki kelas enam SD. Menatap deru ombak pantai sambil memegang sebuah kotak berwarna lavender. Ku datangi ia pelan-pelan untuk mengejutkannya dari belakang, namun tak berhasil karena kakiku menginjak sebatang ranting kering hingga menyadarkannya akan kehadiranku.
“Olief…” katanya tanpa melirik kebelakang
“Yaahh… ga berhasil deh ngagetin kamu”
Perlahan Popay menengok kebelakang, “Bodoh!! aku sudah tau ada kamu disitu dari tadi”
“hehehe” aku tertawa dengan memperlihatkan gigiku yang sebagian ompong karena tanggal.
“Senyummu jelek sekali!!”
“Kamu sendiri memangnya tidak jelek?” kemudian aku pun duduk disampingnya.
“Aku punya susuatu untukmu” sambil menyodorkan kotak berwarna lavender yang tadi kulihat.
“Kado ulang tahunku ya? Kenapa tidak diberikan tadi?”
“Aku… malu… dengan ayah dan bunda”
“Malu? Ternyata punya malu juga?” ledekku.
“Berisik ya? Mau tidak?”
“Ya mau dong, sini!! Ku buka sekarang ya?”
Didalam kotak warna lavender itu, kulihat sebuah kalung perak dengan liontin lumba-lumba, aku jadi terharu dan tak dapat berkata-kata.
“Kenapa diam? Tidak suka?”
“Suka, suka sekali” Tiba-tiba air mataku menetes.
“Kalau suka, kenapa menangis?”
“Ini namanya terharu Syam, thanks” kemudian aku pun berdiri sambil menjauhinya “Beri tahu ayah dan bunda ahh… AYAH… BUNDA…” teriakku sambil berlari menjauhi Syam
“OLIEF… AWAS YA” Syam mengejarku dari belakang
“Lihat, apa yang diberikan Syam untuk hadiah ulang tahunku…”
-Popay untuk Olief-
Ada apa denganku? Mengapa tiba-tiba terkenang masa itu? Aku kan sudah punya pacar yang sangat perhatian dan sayang aku.
Tiba-tiba kernet meneriakkan tempat pemberhentianku, aku langsung bergegas turun sebelum bis jalan kembali.
-Popay untuk Olif-

Ditangga kampus aku duduk sambil menunggu jam kuliah yang baru akan di mulai lima belas menit lagi.
“mata kamu bengkak, kenapa?” Tiba-tiba Ardi muncul dari belakang sambil mengamati dan menatap tajam mataku, “Habis nangis ya, Say?”
“emmh… engga ko sayang, im okey!”
“kamu mana bisa si bohongi aku say, ketika kamu bilang im okey pasti itu adalah sebaliknya”
Aku hanya tersenyum, senyuman yang setengah kupaksakan.
“Ada apa? Cerita dong, say?”
Kemudian aku menceritakan semua kejadiannya pada Ardi, dia hanya memintaku untuk dapat bersabar. Sambil membelai rambutku yang panjang.
“Ardi, aku masuk kelas dulu”
“Oke, aku juga masih ada kelas. Pulang nanti, kuantar kamu ketempat kerja ya”
“Okey”
Aku dan Ardi memang satu fakultas. Kami mengambil jurusan Sastra Indonesia. Aku baru semester dua, sedangkan Ardi sudah semester enam. Sepulang kuliah, aku bekerja paruh waktu di kafe milik tante Ernes mamanya Ardi sampai pukul sembilan malam. Tante Ernes sangat baik, ardi pun ikut membantu di kafe itu.
-Popay untuk Olief-
jalan raya Jakarta yang selalu ramai... Kendaraan berjalan lambat, dari kejauhan ku lihat seorang ibu penjual kue berdiri dipinggir trotoar dengan menjinjing keranjang dagangannya.
"Ardi, bisa berhenti sebentar di ibu penjual kue itu?"
"kamu kenal sama dia?"
"pleas... Berenti sebentar ya!"
"iya nyonya... Hehehe..."ledek Ardi
"nah gitu dong, pak supir harus nurut"kataku sambil tertawa kecil.
Mobil perlahan melambat dan berhenti, ku buka kaca mobil. Ibu tua itu tersenyum melihatku, kemudian berkata "kue nya neng?"
"kue apa bu?"
"pisang goreng, keroket, sama tahu isi"
"aku mau sepuluh ya bu, dicampur saja.. Pake rawit ya bu"
"yaah... Ternyata mau jajan!!"
"hehehe..."
"kita kan mau makan, kenapa jadi jajan dulu?"
"tenang saja, perutku masih cukup ko"
"ini neng kuenya!"
"berapa bu?"tanyaku sambil mengambil kue yg telah dimasukkan dalam pelastik
"sepuluh ribu"
aku mengeluarkan uang pas dari dompet untuk membayarnya.
"terimaksih, bu..."
"sama-sama neng"
tiba2 dua orang pemuda menghampiri Ibu penjual kue dari belakang.
"heh, ibu tua! Enak bener lu jualan di sini!!" sentak seorang pemuda bertubuh kekar, bertampang sangar yang umurnya beberapa tahun lebih tua dariku.
Sedangkan yang seorang lagi hanya diam menatap dengan tatapan dingin dan tak berperasaan, dia mengambil sepotong pisang goreng dari keranjang dagangan kemudian menggigit dan melepehkannya.
Ibu penjual kue menunduk ketakutan, tubuhnya bergetar. dari mulutnya keluar sebuah kata, lirih. "maaf..."
"apa lu bilang?" sentak pria bertubuh kekar itu
"maaf... Hah?"tambah pria bertatapan dingin itu.
"lu pikir maaf bisa bikin kenyang? BAYAR WOY!! GA ADA YANG GRATIS!!" teriaknya tepat ditelinga Ibu penjual kue.
Aku sungguh tak tahan melihat penindasan itu tepat didepanku.
"Ardi!!" panggilku sambil melirik kearah Ardi sebagai kode 'tolong, bantu Ibu itu'
tapi Ardi membalasnya dengan menggelengkan kepala. ku panggil lagi ia untuk yg kedua kalinya, tapi ia justru berkata
"sebaiknya kita pergi dan ga usah ikut campur!!"
aku sungguh kesal dan langsung turun dari mobil. Ardi berusaha menarik lenganku agar tidak turun.
"Lave!!"teriaknya.
Aku berdiri didepan Ibu penjual kue yg sedang ketakutan. Ku tatap dua orang preman itu dengan tatapan tajam.
"kalian itu laki2 atau bukan? Beraninya sama orang tua!"
"heh, ga usah ikut campur lu!!"
"kalian bilang, harus bayar? Memangnya jalanan ini milik kalian?"
"Ini daerah kekuasaan kami!"
"ini jalanan umum!seenaknya kalian menindas yang lemah! Kalau para pemudanya seperti kalian, mau jadi apa negara ini"
"Lu cantik, tapi bawel! ga usah ceramahi kami!!"kata pemuda bertatapan dingin itu tanpa ekspresi.
pria bertampang sangar itu hendak melayangkan pukulannya kearahku, namun Ardi berhasil menahan pukulan. Aku sama sekali tak gentar!!
"Heh, berani lu mau mukul cewe gw? Pengecut!! Beraninya cuma sama perempuan dan orang tua"
"Lu ngajak ribut?"tantang pria bertatapan dingin
"silahkan kalau kalian mau ribut dijalanan umum dan dilihat banyak orang!! Dan kalian bisa lihat sendiri di ujung sana ada Polisi"
beberapa pengguna jalan sudah mulai memperhatikan kami. Beberapa dari mereka mendatangi kami.
"Awas lu ya!! Lu beruntung kali ini" kata pria bertampang sangar dengan nada ancaman sebelum pergi meninggalkan kami.
Aku terus menatap tajam mereka yg mulai menjauh, tiba2 pria dengan tatapan dingin itu menengok kearahku. Matanya... Sepertinya aku kenal dengan mata itu.
-Popay untuk Olief-
didalam mobil, Ardi mendiamkanku. Tak sepatah katapun terucap dari mulutnya.
"sayang, coba deh! Gorengannya enak loh" kataku berusaha memecah kesunyian.
"Lave, berapa lama kamu tinggal di kota ini? Kamu tau kan kalau yang barusan itu berbahaya?"
"Aku tau, tapi aku ga tahan melihat penindasan didepan mataku"
"beruntung, mereka segera pergi melihat orang2 yg segera berdatangan"
"iya, aku minta maaf"
"aku khawatir mereka dendam dan akan menyakitimu"
"aku akan baik-baik saja Ardi, selama ada kamu! karena kamu akan slalu menjagaku"
"kamu tuh ya! Slalu bisa bikin aku ga jadi marah"
aku tersenym sambil tertawa kecil...
"eh, cobain deh gorengannya! Gede2 dan enak pula, ayo... Buka mulutnya anak pinter!"
-Popay untuk Olief-

Bersambung....