Thursday, October 11, 2012

Lavelyne Chapter 2; Dia Datang


LAVELYNE
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih

Chapter 2: Dia Datang
Hari sudah semakin sore, matahari mulai condong dan miring ke barat. Seikat Lavender dan Lily telah berada di genggaman Lavelyne, yang kini duduk di bawah pohon sutra persia yang besar, tinggi dan rindang. Ditemani kicauan burung di dalam sarangnya yang terletak di dahan-dahan pohon sutra persia.
Hamparan padang Lavender dibiarkan tumbuh subur tak beraturan. Aroma kerinduan tercium kuat. Lavelyne terpaku, betapa indahnya Purple Hall Palace. Kupu-kupu berterbangan di sekitarnya, cantik berwarna-warni, seperti bunga-bunga daisy yang berada di taman belakang yang tadi ia lewati.
Di bawah sutra persia yang berusia seratus tahun, Lavelyne merebahkan tubuhnya. Melepaskan semua perasaan gundah yang masih saja mengusik pikiran.
Tangannya telentang dan ia gerak-gerakkan seperti sayap kupu-kupu. Tidak peduli bila tubuhnya akan terasa gatal nanti. Langit biru dengan sedikit guratan awan tipis menjadi pemandangan indah matanya, dan burung-burung yang beterbangan.
Ia tertawa kecil, entah untuk mentertawakan apa? Yang semakin lama tawanya semakin besar dan riang. Isi pikirannya yang liar tak dapat terbaca. Namun, tatapan matanya kosong. Seperti seseorang di ambang kesadaran dan kegilaan. Ia tak peduli siapa dirinya, ia tak peduli tentang apapun.
"Rupanya disini, mempalai wanitaku. Tertawa tanpa tahu menertawakan apa?"
Lavelyne tidak berhenti tertawa, ia menatap Antony yang berada tepat diatas pandangannya. Sedikit senyum kemudian kembali tertawa. Antony mengikuti hal yang sama dengan Lavelyne. Mereka tertawa terbahak-bahak, tertawa sampai mengeluarkan air mata, sampai matanya terasa silau karena cahaya mentari senja.
Antony tahu apa yang dilakukan Lavelyne itu menandakan sesuatu, mereka memiliki kesamaan dalam cara-cara yang gila.
"Apa yang membuatmu gundah?"
"Tidak, bukan apa-apa."
"Sudah, ceritakan saja."
"Aku ... ah.... Kapan kau datang? Kenapa lama sekali?"
"Ya, kami terlambat berangkat sehari. Kamu tahulah betapa sulitnya menjelaskan tentang perasaan kepada orang yang sama-sama memiliki perasaan yang sama terhadap satu wanita."
"Kemudian, apa ia menerimanya?"
"Tidak, ia pergi dari istana. Kami menunggunya selama satu hari. Barangkali ia akan kembali dan ikut merestui pernikahan kita, namun ia tidak juga kembali."
"Aku sungguh merasa bersalah. Semua karena aku. Penyebab rusaknya persahabatan yang sudah seperti saudara itu."
"Tidak ada yang salah dengan dua orang yang saling mencintai. Oh malangnya ia tapi, aku tidak dapat merelakanmu untuknya."
"Aku juga tidak mencintainya. Cintaku hanya untukmu, bukan untuknya. Selain itu aku menganggap ia sebagai kakakmu."
Mereka saling bertatapan untuk beberapa waktu. Tangannya saling berpegangan erat.
"Aku tak akan mampu hidup tanpamu, Lavelyne cintaku." Antony meletakkan genggaman tangan di dadanya.
“Begitupun denganku.”
Detak jantung Antony dapat ia dengar dengan telinganya. Aroma tubuhnya sangat ia suka, aroma teh dan sedikit matahari. Berbaring di sisi kekasih yang di cintai sungguh nyaman dan hangat, di tambah aroma lavender yang semakin membuat rileks dan terhanyut dengan suasana yang terbentuk. Lavelyne semakin memeluk tubuh pangerannya, mencium aroma tubuh yang ia sukai.
"Aku suka aroma tubuhmu,"
"Akupun suka aroma tubuhmu, Sayang." Balas Antony.
Namun saat mereka akan berciuman, Lavelyne berbisik, "Kejar aku, bila berhasil kau boleh...."
Mata Antony yang sempat terpejam, kini langsung terbuka dan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud.
"Apa maksudmu?"
Saat Antony terbengong tidak mengerti, Lavelyne bergegas beranjak dan bersiap lari. Saat Lavelyne sudah mulai lari, barulah Antony mengerti dan lari untuk menyusul Lavelyne.
Lavelyne 1
Meski berlari dengan menggunakan gaun panjang yang ia angkat untuk memudahkannya berlari, larinya cukup cepat. Sampailah pada pintu masuk labirin.
Lavelyne masuk kedalam labirin itu, begitu pun dengan Antony. Di belokan ke tiga, sang putri telah kelelahan dan menghentikan larinya. Ia berhasil terkejar dan tangannya teraih oleh Antony.
"Sebagai seorang putri, larimu cukup cepat. Sekarang akan lari kemana lagi?" Antony menyudutkan Lavelyne ke sudut labirin.
Dalam labirin tidak ada yang dapat melihat mereka. Labirin setinggi lima meter dan sangat luas. Namun, jalannya cukup sempit untuk di lalui dua orang.
"Aku menagih janjimu!"
"Ja ... jangan. Bagaimana bila ada pelayan yang melihat?"
"Tidak ada siapapun di sini. Janji tetaplah janji."
"Jadi...."
"Jadi...."
Lavelyne 1
Mereka kembali kedalam istana. Para pelayan telah gusar mencari keberadaan mereka. Yang datang dengan tersenyum-senyum gembira.
Kini segala perasaan ragu Lavelyne menghilang seperti uap. Mereka berharap, Darwin dapat melupakan segalanya kemudian, memilki pujaan hatinya sendiri.
Mereka kembali kedalam istana tepat sebelum matahari terbenam. Semilir angin sungguh terasa merinding. Suhu udarapun mulai turun beberapa derajat.
“Lavelyne, dari mana saja kalian? Ibunda mencarimu kemana-mana.”
“Kami sedikit berbincanng Ibunda Ratu Claire. Ngomong-ngomong, apa Putri Clara sudah datang, ibunda?”
“Belum putriku, mungkin baru besok.”
“Ya, mungkin paman Linch masih sibuk.”
“Mungkin saja, pertambangan pamanmu itu cukup makmur. Lavelyne putriku, dan pangeran Antony tentu saja, ikuti aku!”
Mereka berjalan menuju ruangan yang telah disediakan.
“Cobalah pakaian pernikahan ini! Apa perlu untuk diperbaiki atau tidak,” Claire memberi isyarat kepada perancang pakaian istana untuk membawakan setelan untuk Antony serta gaun untuk Lavelyne.
Mereka mencoba pakaian itu masing-masing. Saat Lavelyne keluar untuk menunjukkannya. Sungguh mempesona, seperti seorang peri yang sedang terbang di padang bunga daisy. Mengagumkan.
“Putriku benar-benar cantik,” Claire memeluk Lavelyne.
“Benarkah ibunda?”
“Sangat cantik,” Claire tersenyum kemudian, menoleh ke Antony. “Bagaimana menurutmu?”
“Aku sampai tidak dapat berkata-kata.”
Gaun pernikahan berwarna ungu berlapis sifon pink, di bagian bawahnya terdapat renda yang tidak begitu banyak. Berlengan pendek dengan kerut menyerupai renda berukuran besar.
Mahkota yang dipilih pun mahkota berukuran kecil berhiaskan batu mulia, seperti rubi, berlian, safir serta emerald yang memiliki warna senada dengan gaun Lavelyne. Bebatuan itu di bingkai dalam bingkai emas putih murni yang berkilauan.
Raja Hilaire Aldrich yang lewat di depan ruangan mereka langsung masuk kedalam. Ia menatap putrinya dengan senyuman, penuh haru. Beberapa hari lagi, putri semata wayangnya akan hidup di tempat lain. Ia harus merelakan anak satu-satunya itu jauh dari dirinya.
“Kau sungguh mengagumkan dengan gaun itu. Waktu sungguh cepat berlalu. Hari dimana kau harus tinggal jauh dari rumah, akhirnya tiba juga.” Ia menarik nafasnya.
“Ayahanda ... kau membuautku ingin menangis,” ia berjalan menghampiri ayahnya.
Mereka berpelukan. Air mata haru tidak kuasa terbendung lagi. Segala emosi berbaur menjadi satu didalam dada. Claire ikut terharu dan menitikkan air mata, ialah ibu yang melahirkan serta merawat Lavelyne hingga saat ini.
“Ibuda ratu dan Ayahanda raja tidak perlu hawatir. Aku akan menjaga Lavelyne dengan segenap jiwaku.”
“Aku percaya kau akan melakukan itu semua. Melindungi putri kami dengan sepenuh hati.” Raja Hilaire menepuk pundak Antony.
Antony tersenyum, betapa ia merindukan kebersamaan keluarga yang hangat seperti ini. Ia pasti akan bahagia, selain menikah dengan wanita yang ia cintai, juga mendapatkan keluarga lengkap yang hangat, penuh kasih sayang.
Lavelyne 1

No comments:

Post a Comment