LAVELYNE
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih
Chapter 2: Dia Datang
Hari sudah semakin sore,
matahari mulai condong dan miring ke barat. Seikat Lavender dan Lily telah berada
di genggaman Lavelyne, yang kini duduk di bawah pohon sutra persia yang besar,
tinggi dan rindang. Ditemani kicauan burung di dalam sarangnya yang terletak di
dahan-dahan pohon sutra persia.
Hamparan padang Lavender
dibiarkan tumbuh subur tak beraturan. Aroma kerinduan tercium kuat. Lavelyne
terpaku, betapa indahnya Purple Hall Palace. Kupu-kupu berterbangan di
sekitarnya, cantik berwarna-warni, seperti bunga-bunga daisy yang berada di
taman belakang yang tadi ia lewati.
Di bawah sutra persia yang
berusia seratus tahun, Lavelyne merebahkan tubuhnya. Melepaskan semua perasaan
gundah yang masih saja mengusik pikiran.
Tangannya telentang dan
ia gerak-gerakkan seperti sayap kupu-kupu. Tidak peduli bila tubuhnya akan
terasa gatal nanti. Langit biru dengan sedikit guratan awan tipis menjadi
pemandangan indah matanya, dan burung-burung yang beterbangan.
Ia tertawa kecil, entah
untuk mentertawakan apa? Yang semakin lama tawanya semakin besar dan riang. Isi
pikirannya yang liar tak dapat terbaca. Namun, tatapan matanya kosong. Seperti
seseorang di ambang kesadaran dan kegilaan. Ia tak peduli siapa dirinya, ia tak
peduli tentang apapun.
"Rupanya disini,
mempalai wanitaku. Tertawa tanpa tahu menertawakan apa?"
Lavelyne tidak berhenti
tertawa, ia menatap Antony yang berada tepat diatas pandangannya. Sedikit
senyum kemudian kembali tertawa. Antony mengikuti hal yang sama dengan
Lavelyne. Mereka tertawa terbahak-bahak, tertawa sampai mengeluarkan air mata,
sampai matanya terasa silau karena cahaya mentari senja.
Antony tahu apa yang
dilakukan Lavelyne itu menandakan sesuatu, mereka memiliki kesamaan dalam
cara-cara yang gila.
"Apa yang membuatmu
gundah?"
"Tidak, bukan
apa-apa."
"Sudah, ceritakan
saja."
"Aku ... ah....
Kapan kau datang? Kenapa lama sekali?"
"Ya, kami terlambat
berangkat sehari. Kamu tahulah betapa sulitnya menjelaskan tentang perasaan
kepada orang yang sama-sama memiliki perasaan yang sama terhadap satu
wanita."
"Kemudian, apa ia
menerimanya?"
"Tidak, ia pergi
dari istana. Kami menunggunya selama satu hari. Barangkali ia akan kembali dan
ikut merestui pernikahan kita, namun ia tidak juga kembali."
"Aku sungguh merasa
bersalah. Semua karena aku. Penyebab rusaknya persahabatan yang sudah seperti
saudara itu."
"Tidak ada yang
salah dengan dua orang yang saling mencintai. Oh malangnya ia tapi, aku tidak
dapat merelakanmu untuknya."
"Aku juga tidak
mencintainya. Cintaku hanya untukmu, bukan untuknya. Selain itu aku menganggap
ia sebagai kakakmu."
Mereka saling bertatapan
untuk beberapa waktu. Tangannya saling berpegangan erat.
"Aku tak akan mampu
hidup tanpamu, Lavelyne cintaku." Antony meletakkan genggaman tangan di
dadanya.
“Begitupun denganku.”
Detak jantung Antony
dapat ia dengar dengan telinganya. Aroma tubuhnya sangat ia suka, aroma teh dan
sedikit matahari. Berbaring di sisi kekasih yang di cintai sungguh nyaman dan
hangat, di tambah aroma lavender yang semakin membuat rileks dan terhanyut
dengan suasana yang terbentuk. Lavelyne semakin memeluk tubuh pangerannya,
mencium aroma tubuh yang ia sukai.
"Aku suka aroma
tubuhmu,"
"Akupun suka aroma
tubuhmu, Sayang." Balas Antony.
Namun saat mereka akan
berciuman, Lavelyne berbisik, "Kejar aku, bila berhasil kau boleh...."
Mata Antony yang sempat
terpejam, kini langsung terbuka dan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud.
"Apa
maksudmu?"
Saat Antony terbengong
tidak mengerti, Lavelyne bergegas beranjak dan bersiap lari. Saat Lavelyne
sudah mulai lari, barulah Antony mengerti dan lari untuk menyusul Lavelyne.
Lavelyne 1
Meski berlari dengan menggunakan
gaun panjang yang ia angkat untuk memudahkannya berlari, larinya cukup cepat.
Sampailah pada pintu masuk labirin.
Lavelyne masuk kedalam
labirin itu, begitu pun dengan Antony. Di belokan ke tiga, sang putri telah
kelelahan dan menghentikan larinya. Ia berhasil terkejar dan tangannya teraih
oleh Antony.
"Sebagai seorang
putri, larimu cukup cepat. Sekarang akan lari kemana lagi?" Antony
menyudutkan Lavelyne ke sudut labirin.
Dalam labirin tidak ada
yang dapat melihat mereka. Labirin setinggi lima meter dan sangat luas. Namun,
jalannya cukup sempit untuk di lalui dua orang.
"Aku menagih
janjimu!"
"Ja ... jangan. Bagaimana
bila ada pelayan yang melihat?"
"Tidak ada siapapun
di sini. Janji tetaplah janji."
"Jadi...."
"Jadi...."
Lavelyne 1
Mereka kembali kedalam
istana. Para pelayan telah gusar mencari keberadaan mereka. Yang datang dengan
tersenyum-senyum gembira.
Kini segala perasaan
ragu Lavelyne menghilang seperti uap. Mereka berharap, Darwin dapat melupakan
segalanya kemudian, memilki pujaan hatinya sendiri.
Mereka kembali kedalam
istana tepat sebelum matahari terbenam. Semilir angin sungguh terasa merinding.
Suhu udarapun mulai turun beberapa derajat.
“Lavelyne, dari mana
saja kalian? Ibunda mencarimu kemana-mana.”
“Kami sedikit
berbincanng Ibunda Ratu Claire. Ngomong-ngomong, apa Putri Clara sudah datang,
ibunda?”
“Belum putriku, mungkin
baru besok.”
“Ya, mungkin paman Linch
masih sibuk.”
“Mungkin saja, pertambangan
pamanmu itu cukup makmur. Lavelyne putriku, dan pangeran Antony tentu saja, ikuti
aku!”
Mereka berjalan menuju
ruangan yang telah disediakan.
“Cobalah pakaian
pernikahan ini! Apa perlu untuk diperbaiki atau tidak,” Claire memberi isyarat
kepada perancang pakaian istana untuk membawakan setelan untuk Antony serta
gaun untuk Lavelyne.
Mereka mencoba pakaian
itu masing-masing. Saat Lavelyne keluar untuk menunjukkannya. Sungguh
mempesona, seperti seorang peri yang sedang terbang di padang bunga daisy.
Mengagumkan.
“Putriku benar-benar
cantik,” Claire memeluk Lavelyne.
“Benarkah ibunda?”
“Sangat cantik,” Claire
tersenyum kemudian, menoleh ke Antony. “Bagaimana menurutmu?”
“Aku sampai tidak dapat
berkata-kata.”
Gaun pernikahan berwarna
ungu berlapis sifon pink, di bagian bawahnya terdapat renda yang tidak begitu
banyak. Berlengan pendek dengan kerut menyerupai renda berukuran besar.
Mahkota yang dipilih pun
mahkota berukuran kecil berhiaskan batu mulia, seperti rubi, berlian, safir
serta emerald yang memiliki warna senada dengan gaun Lavelyne. Bebatuan itu di
bingkai dalam bingkai emas putih murni yang berkilauan.
Raja Hilaire Aldrich
yang lewat di depan ruangan mereka langsung masuk kedalam. Ia menatap putrinya
dengan senyuman, penuh haru. Beberapa hari lagi, putri semata wayangnya akan
hidup di tempat lain. Ia harus merelakan anak satu-satunya itu jauh dari
dirinya.
“Kau sungguh mengagumkan
dengan gaun itu. Waktu sungguh cepat berlalu. Hari dimana kau harus tinggal
jauh dari rumah, akhirnya tiba juga.” Ia menarik nafasnya.
“Ayahanda ... kau
membuautku ingin menangis,” ia berjalan menghampiri ayahnya.
Mereka berpelukan. Air
mata haru tidak kuasa terbendung lagi. Segala emosi berbaur menjadi satu
didalam dada. Claire ikut terharu dan menitikkan air mata, ialah ibu yang
melahirkan serta merawat Lavelyne hingga saat ini.
“Ibuda ratu dan Ayahanda
raja tidak perlu hawatir. Aku akan menjaga Lavelyne dengan segenap jiwaku.”
“Aku percaya kau akan
melakukan itu semua. Melindungi putri kami dengan sepenuh hati.” Raja Hilaire
menepuk pundak Antony.
Antony tersenyum, betapa
ia merindukan kebersamaan keluarga yang hangat seperti ini. Ia pasti akan
bahagia, selain menikah dengan wanita yang ia cintai, juga mendapatkan keluarga
lengkap yang hangat, penuh kasih sayang.
Lavelyne 1
No comments:
Post a Comment