Tuesday, May 17, 2011

MEITA

MEITA

Sebuah Kisah Yang Didedikasikan Untuk Anak-anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Oleh: Kholifah Fitrianingsih/ Olief Lave

I. Orang-orang Picik

Aku tahu siapa diriku! Tapi, tak seharusnya mereka melakukan ini semua padaku!
Sekolah favorit yang menjadi idaman semua remaja, namun sekolah ini memiliki sistem yang bobrok karena tak dapat memberikan hukuman apapun pada mereka yang punya dana besar untuk kesejahteraan sekolah. Siswa yang memiliki kuasa bisa menindas siapapun yang lemah. Ami... Princes di sekolahku, yang juga teman satu sekolah ketika SMP. Dia selalu menindasku seenak otaknya yang picik dan sadis itu yang tersembunyi dibalik wajahnya yang bak putri raja, cantik dan penuh dengan barang-barang mewah, tapi isi kepalanya benar-benar kosong!

"Dasar anak pungut! Lu itu ga pantes sekolah di tempat sebagus dan semewah ini!" Ami selalu menghinaku seperti itu!

Aku memang anak angkat kedua orang tuaku yang juga selalu menyiksaku dikala suasana hati mereka sedang buruk. Aku memang hanya siswa beasiswa karena kecerdasanku oleh karena itu bisa terus sekolah disini. Namun hatiku jauh lebih kaya dari mereka!

Hanya ada satu orang yang benar-benar selalu ada untukku, yang selalu melindungiku, dan yang selalu menghapus air mataku, dia adalah Arifin. Temanku sejak TK, orang pertama yang menghapus air mataku.
-----¤¤¤-----


Suatu siang bulan Mei di Panti Asuhan, datang seorang ibu dengan riasan tebal dan postur tubuh tinggi serta lumayan berisi. Terlihat rambut ikalnya ia paksakan agar lurus di salon sebelum berangkat, hingga terlihat sangat kaku seperti sapu. Blus yang ia kenakan berwarna-warni seperti lukisan abstrak, sedangkan jari-jemari tangan kanannya menjinjing tas dari kulit buaya, tak lupa sepatu hak tinggi yg ketika berjalan menimbulkan suara jeritan lantai. dengan tangan kirinya ia menggandeng seorang bapak-bapak yang kepalanya berkilau ketika terpantul cahaya, rambutnya hampir habis hingga ia terpaksa harus membotakinya agar orang-orang tak mengetahui bila ia setres hingga mengalami kebotakan. Tubuhnya yang mengenakan setelan Jas Hitam itu tak terlihat begitu tinggi, namun sama berisinya dengan istri yg menggandengnya agar terlihat seperti keluarga harmonis dan bahagia.

Aku sangat ketakutan hingga bersembunyi dibalik tubuh Bunda Aisyah, kepala Panti asuhan yang bertubuh langsing dan mengenakan gamis warna hijau lumut serta jilbab hitam.

Dan pasangan suami istri itulah yang mengadopsiku, yang saat ini menjadi orangtuaku. Serta memberikan kehidupan bak neraka padaku.
-----¤¤¤-----

"Mei... Meita..." pekikan nyaring dari suara seorang wanita.
Bergegas ku berjalan menuruni tangga untuk menghampirinya yang suaranya terdengar seperti knalpot bajaj.
"Ada apa bu?"
"Setrikakan dress ibu yang ini" sambil melemparkan dress hitam kewajahku.
"tapi bukankah yang ini sudah disetrika kemarin?"
"Masih kusut karena kau tak becus menyetrikanya!"
"baik lah..."
"jangan sampai kau rusakan, itu dress mahal!"
Aku langsung menuju kamar untuk menyetrika baju itu, kamar ku sudah seperti kamar pembantu saja.
-----¤¤¤-----

Ketika hampir selesai menyetrika, terdengar suara lemparan kerikil di kaca jendela kamar. Aku tau siapa yg melempar kerikil-kerikil itu. Langsung saja aku berjalan mendekati jendela, dan kami berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat serta membaca gerakan bibir.
"aku tunggu kamu di taman"
"okey... sepuluh menit lagi, aku sedang menyertika"
"oke!" sambil mengacungkan ibujarinya serta tak lupa tersenyumPadaku.

Ketika terdengar pekikan suara Ibu, aku langsung bergegas menghampiri setrikaanku,
Sungguh celakanya aku setrikaan yang tadi kuberdirikan ternyata rubuh dan menempel di pakaian ibu dan membuat lubang di ujung roknya. Buru-buru ku sembunyikan didalam tumpukan baju dalam keranjang.

"Hei!! mana gaunku?"
"i... Ittuuu..."
"MANA!!" teriaknya tepat diwajahku.
Aku benar-benar ketakutan, tubuhku gemetar. "Awas kalau sampai kau rusakkan! Akan kusetrika tanganmu!" matanya melotot seakan mau melompat dari tempatnya. Kemudian Tangannya langsung mencari-cari di tumpukkan baju dalam keranjang. Matanya semakin melotot, mulutnya menganga dan kedua alisnya naik saat menemukan gaun itu. Aku semakin merinding ketakutan, tamatlah riwayatku.

"SINI, KEMARIKAN TANGANMU!!" dia berteriak kalap seperti kesetanan
"maaf... Maafkan aku, aku tidak sengaja bu" aku memelas dan memohon sampai airmataku menetes. Kupegang erat kedua tanganku didada.

"AKU TIDAK MAU DENGAR!! KEMARIKAN!!" dia menarik tanganku, "ATAU KAU MAU WAJAHMU YANG KUSETRIKA?!" Ancamnya sambil menodongkan setrikaan panas didepan wajahku.

Sambil terisak ku berikan tangan kiriku padanya, kupejamkan mataku dan tanpa basa basi dia menempelkan setrikaan panas itu dipunggung tanganku, kugigit bibir menahan rasa sakit itu. Air mata membasahi pipiku dengan deras hingga menetesi bajuku. Setelah itu ia pergi meninggalkanku tanpa berkata apa-apa. Kujatuhkan tubuhku kelantai, melihat tangan kiriku memerah dan melepuh. Lima menit kemudian wanita jahat itu datang sambil melemparkan perban dan segulung plaster penutup luka.
"Tutupi lukamu! Awas kalau sampai ada orang yang tau!" Ancamnya.

Duapuluh menit kemudian wanita kejam itu pergi keacara arisan yang dijemput seorang temannya. Dan aku memiliki waktu kurang lebih tiga jam untuk bertemu Arifin.
-----¤¤¤-----

Dengan kelopak mata yang bengkak karena banyak menitikkan air mata, aku berjalan ke taman untuk menemui Arifin. Dikursi taman dibawah rindangnya Angsana yang bunga kuningnya berguguran seperti salju. Ia duduk sambil menatapku yang baru datang dengan cemas. Aku duduk disebelahny sambil menatap birunya langit.
"Tangan kirimu... Biar kulihat"
"Untuk apa? Aku tidak mau!"
"Aku menyaksikannya, aku melihat semua yang terjadi"
"Tidak apa-apa ko... Tak separah yang kau saksikan" Ku coba tegar dihadapannya.

Perlahan ia menarik keluar tangan kiri yang kusembunyikan dalam kantung jaketku. Dia memperhatikan dengan seksama punggung tangan yang kuperban seadanya. Tatapan miris ia beritahukan melalui matanya padaku. Ia buka lilitan perban untuk melihat seberapa parah luka bakarku.

"Pasti sangat sakit ya? Aku sungguh merasa bersalah padamu Mei, smua ini karena aku memanggilmu. Kalau sampai lukanya tak hilang, aku akan sangat bersalah padamu."
"Hei Rif... Kau tidak bersalah, itu karena aku ceroboh"
"Kalau sampai kau tak menikah karena kau memiliki luka ini, aku yang akan menikahimu."
"kamu ini ngomong apa? Ini hanya luka kecil, tidak perlu dirisaukan" kataku sambil tersenyum.
"Dalam seperti inipun kamu masih bisa tersenyum? Tapi ucapanku barusan serius Mei. Dan kenapa kau tak melawan tadi? Apa kita laporkan saja pada polisi?"
"karena ia Ibuku, walaupun ia ibu angkatku dan tak pernah sekalipun ia menganggapku sebagai anaknya. Tapi sungguh aku menyayanginya, aku menyayangi mereka seperti orang tuaku sendiri"
Aku meneteskan airmata lagi, dan Arifin meminjamkan punggungnya untukku basahi dengan air mata. Rif... Untung aku memilikimu... Sahabat terbaik didunia.
"Mana mungkin aku melaporkan orang tuaku pada Polisi"
"tapi kalau sekali lagi kulihat mereka menyiksamu, akan kulaporkan mereka Mei! Aku sungguh tak tahan melihatmu seperti ini, tiap kali kau dilukai itu seperti melukaiku juga. Sakit rasanya, ditambah lagi tak dapat melakukan apapun"
"Aku tidak apa-apa sungguh, asalkan kau selalu menghapus airmataku itu sudah lebih dari cukup Rif..."
"sini, kuhapus air matamu," dia membalikkan tubuhnya menghadapku setelah itu menghapus lembut airmata dipipiku dengan tangannya yang hangat, "Sekarang kerumahku ya! Kita obati lukamu dengan benar."
Menggunakan sepeda Arifin, kami berangkat menuju rumahnya yang hanya berjarak dua blok dari taman.
-----¤¤¤-----

Sesampainya dirumah Arifin, kami disambut oleh senyuman tante Bunga, bunda Arifin. Setelannya yang berwarna cokelat muda, serasi dengan jilbab yang ia kenakan. Bros perak dengan mutiara-mutiara hitam ia sematkan disisi kiri kerudungnya. Aroma Lili tercium dari tubuhnya, kulitnya yang putih alami terlihat dari tangannya, wajahnya yang cantik alami tanpa riasan, hanya lipstik cokelat yang ia pulaskan dengan tipis, serta tubuh tinggi semampai ditambah cara jalan yang anggun bak model semakin membuatnya cantik sempurna.
Arifin memang pernah cerita kalau bundanya yang cantik itu dulu adalah seorang model, namun ia berhenti setelah mengandungnya. Ini bukan pertama kalinya aku bertemu dengan tante Bunga, namun sejak pertamakali bertemu hingga saat ini rasa kagum itu selalu muncul setiap kali bertemu.
"Hei, sudah pulang? Ada Meita juga..."
"Iya Bun... Aku mau telepon oom Arya" kata Arifin sambil mencium tangan Bundanya.
"Sore Tante..." aku tersenyum lalu mencium tangannya yang harum.
"Hei Mei... silahkan masuk" dia mempersilahkan, "Rif, ada apa tlp oom Arya? Kamu sakit?" tanya tante Bunga khawatir.
"Bukan aku bun, tapi Meita"
"Meita, ah engga ko ga demam" ungkapnya setelah ia memegang keningku untuk mengecek suhu tubuhku.
"bukan demam bun, tapi tangan kirinya." Arifin berlalu untuk menuju telepon yang berada diatas meja diruang keluarga.
Kemudian tante bunga mengecek tanganku, dan ia sangat terkejut melihat luka bakar yang lumayan besar.
"luka bakar, ko bisa sampai ada luka bakar ditanganmu Mei?" sambil berjalan menuju sebuah sofa diruang keluarga. "silahkan duduk Mei!" Tante Bunga mempersilahkan.
Sedangkan Arifin sedang sibuk dengan teleponnya, sesekali ia menoleh dan melayangkan senyuman padaku.
"Aku ceroboh tante"
"Tapi ini seperti cap setrikaan, beneran ini hanya kecerobohan? Apa bukan karena perlakuan Ibu mu Mei? Kudengar ia sangat kejam"
"Ti... Tidak tante, ini smua memang kesalahanku. Dan kami baik-baik saja."
"Ya sudah kalau tidak mau bercerita, tapi kalau Mei membutuhkan bantuan, kami akan siap membantu."
"Terimakasih tante.."
"Tante buatkan cokelat hangat kesukaanmu ya Mei..."
Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Setelah itu tante Bunga beranjak dari sofa untuk menuju dapur. Dan Arifin telah selesai dengan teleponnya, ia langsung berjalan menuju sofa. Ia duduk disebelah kananku. Tiba-tiba suasana jadi hening sesaat, merasa tak tau apa yang harus dikatakannya padaku. Rumah mewah yang terasa semakin besar itu benar-benar senyap.
"Papah mu mana Rif?"
"Biasalah, kerja walau dihari libur sekalipun. Kali ini ke Beijing, pagi-pagi sekali sudah berangkat. Padahal...." suaranya semakin pelan "kemarin sore baru saja pulang dari luar kota, aku masih merindukannya"
"Setidaknya kamu masih beruntung, dan itu harus disyukuri" sambil tersenyum getir.
-----¤¤¤-----

Tante Bunga datang membawakan empat cangkir cokelat panas beserta empat piring cake strawberry buatannya.
"Nih... Cokelat panasnya sudah siap, tante juga bawakan cake Strauberry buatan tante tadi pagi loh.. Ayo dicicipi Mei"
"Terimakasih tante, maaf kalau Mei sering merepotkan tante."
"Tidak ko... Kamu sudah tante anggap anak sendiri. Apalagi tante tidak punya anak perempuan."
"Tapi nanti juga kan Bunda punya anak perempuan. Kalau aku sudah menikah Bun.."
"Ya... Kamu benar" tante Bunga tersenyum sambil mengacak-acak rambut anak semata wayangnya.

Duapuluh menit kemudian Dokter Arya datang. Seorang dokter berusia limapuluh tahunan, sebagian rambutnya telah berwarna putih. Ia mengenakan kemeja warna biru langit dengan celana hitam serta menjinjing tas berisi peralatan profesinya.



*Bersambung sampai saya lanjutkan lagi*