Novel ini ku dedikasikan untuk semua wanita yang sedang berjuang melawan sakitnya agar tetap semangat berjuang untuk tetap hidup dan sembuh.
The Puzzle
A Novel Writting By: Olief Lave
What's Wrong
Gelap....
Gelap sekali....
Udara sangat lembab, aku bisa
menciumnya... tubuhku nyeri dan lelah.
Aku ingin istirahat, namun seseorang menarik tanganku, dan menyampirkannya di
bahu, dia memapahku. Suara seorang pria memberitahu agar kami berlari, nadanya
panik dan mendesak. Rasa takut menjalari tubuhku, tapi aku berdiri juga,
menuruti ucapannya. kami harus berlari menyelamatkan diri, entah dari apa. kami
berlari melewati semak-semak , tanpa tujuan. Dia tak pernah melepaskanku meski
kakiku yang berdarah dan sakit harus ku sered dan tentu itu menghambatnya.
“Pergi! Tinggalkan saja aku dan
selamatkan dirimu. Aku hanya menghambatmu.”
“Tidak, Eva!” ucapnya mantap,
sama sekali tak berniat melepaskanku.
“Tinggalkan aku! Kau harus
selamat.”
“Tidak, kau yang terpenting
untukku.” Jelas dari suara napasnya yang berat, dia sudah sangat kelelahan.
“Ayo kesini!” Dia menarikku ke
balik semak-semak tinggi.
Ketika berjongkok untuk
bersembunyi, baru ku rasakan jika mungkin tulang kakiku ada yang retak, aku
menutup mulutku kuat-kuat agar tak bersuara. Dia memelukku, sementara matanya
memerhatikan ke balik semak. Kami bisa mendengar derap langkah mendekat,
sebelum terlihat tiga orang pria berbadan kekar dengan balok-balok kayu di
tangan mereka.
Seseorang yang berbadan paling
kekar dan tinggi, dengan kepala botak yang mengkilap terkena cahaya bulan dari
sela-sela dedaunan, menatap tajam ke tempat kami bersembunyi. Tiba-tiba seseorang meraih
tanganku, menarikku ke dekapannya dengan kasar. Aku berteriak, meronta,
memukulnya sekuat tenaga, menendangnya.
“Hei ... hei... apa yang terjadi?
Eva .... Sayang.... aw...” dia jelas kesakitan.
Aku bingung, aku mengerjapkan
mata dan segalanya tidak gelap lagi, tapi cukup terang, hampir senja. Matahari
sudah berada dekat garis cakrawala. Hampir tenggelam dalam lautan yang airnya
berkilauan. Sementara aku mencium bau garam dari angin yang berhembus dari arah
samudra atlantik yang tepat berada di seberang jalan. Bukan bau lembab hutan
seperti yang ku alami tadi.
Ketika ku angkat wajahku, aku
mengenali pria yang memelukku ini. Dia suamiku,William.
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah ... aku baru pulang kerja,” dia menunjuk mobil
Ford GT biru nya yang masih terparkir di halaman. Mobil yang sangat mencolok
ketika melaju di jalan raya. “Kemudian melihatmu lari, menyered-nyered kaki, bersembunyi
di balik semak. Ada apa?”
“Ada tiga orang yang mengejarku,
aku berlari dan bersembunyi....”
“Dimana mereka?” Tanya Will.
“Entahlah...”
“Diana....” teriaknya, “Diana...”
Panggilnya lagi.
Tak begitu lama, aku melihat
Diana berlari menghampiri. Diana adalah kepala pelayan kami.
“Apa yang terjadi? Apa ada
orang-orang yang mengejar Nyonya?”
“Orang- orang?”
“Ya, Nyonya bilang ada
orang-orang yang mengejarnya.”
“Tidak ada siapapu, Tuan.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak tahu, tapi tadi Nyonya
memecahkan teko kemudian dia berlari keluar....”
“Sudah ... kau boleh pergi.”
William terlihat panik.
“Permisi, Tuan, Nyonya.”
“Apa aku berhalusinasi?” Will
tidak menjawab, dia menatap cemas, “Aku tidak gila kan? Tiba-tiba aku berada di
hutan, tiga orang mengejarku dan disana gelap sekali....”
“Eva ... Eva ...” panggilnya,
menghentikan ceritaku, “Tidak, kau tidak gila. Kau pasti hanya kelelahan,
melamun kemudian berhalusinasi.”
Aku berusaha mengingat bagaimana
itu bisa terjadi. Aku ingat tadi sedang mengisi air untuk ku masukkan dalam lemari
es. Kemudian semua terjadi, dan telapak kakiku terasa perih. Mungkin ini hanya
kebetulan.
“Ayo, kita masuk.” Will
memelukku.
Aku berjalan di sampingnya,
berusaha menyembunyikan kakiku yang sakit.
“Ada apa dengan kakimu?”
“Aku tidak tahu.”
“Sini....” Will sudah meraih
tanganku dan menggendongku di pelukannya.
“Turunkan aku ... mereka nanti
melihat kita.”
“Biarkan saja, Eva.”
Pipiku bersemu merah, panas
rasanya. Kemudian melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Kami memasuki rumah
kami yang bergaya minimalis. Rumah dua lantai yang besar, dengan cat putih dan
jendela-jendela lebar. Ketika melewati dapur, aku melihat beberapa pelayan
sibuk memasak makan malam dan seorang sedang mengepel lantai, membersihkan
pecahan teko kaca. Baru dua minggu lebih kami pindah ke sini. Sebelumnya kami
tinggal di sebuah condominium yang sangat dekat dengan rumah sakit di Queens.
Hanya saja, aku kurang begitu nyaman tinggal di Queens. Di sana sangat ramai,
dan aku butuh tempat yang lebih damai.
“I love you.” Bisik Will di
telingaku.
"I Love you, too,” jawabku singkat sebelum
Will mengecup pipiku mesra, kemudian beralih ke bibirku. Aku membalas
ciumannya.
William mendudukkanku di atas sofa
kulit hitam di ruang keluarga, dia masih menciumku. Beberapa detik kemudian dia
berhenti, tersenyum karena teringat sesuatu yang sempat terlupakan. Sekali lagi
dia mengamati ekspresiku penuh khawatir. Aku melepaskan pelukanku, merasa malu.
William beranjak, mengambil kotak obat di laci meja tv. Beberapa detik kemudian
dia sudah duduk di sampingku.
“Biar ku lihat kakimu,” dia
membuka sandalku yang tipis.
Di alas sandal kaki kananku
menempel darah yang lumayan banyak dan lengket ke kulitku. Sepertinya ketika
teko itu pecah, ada serpihan kaca yang terpental ke sandalku dan terinjak. Aku
merasa perih di sekitar lengkungan telapak kaki kananku.
“Apa perlu di jahit?” tanyaku
ngeri.
“Aku harus membersihkannya dulu,
jangan sampai ada pecahan yang tertancap. Akan terasa sedikit sakit.” William
mengambil kapas dan cairan antiseptik dari kotak obat.
Aku tersenyum, memutar bola
mataku, meremehkan. Dia mulai membersihkan kulit di sekitar lukaku. Kemudian
mengambil penjepit untuk menarik
serpihan kaca yang tertancap. Darah kembali keluar, rasanya perih ketika menyentuh
kapas. Tapi, jujur saja ini tidak ada apa-apanya. Beberapa kali masuk ruang
operasi, luka sekecil ini tidak ada apa-apanya, namun tetap saja aku reflek
menarik kaki dan meringis.
“Tahan sebentar,” ucapnya sedih.
“Tenang saja, ini kan luka
kecil.” Aku tersenyum.
“Benar, hanya luka kecil.” Dia
sudah selesai membersihkan lukaku, kemudian mengambil plester dan menempelkannya
di lukaku.
“Ada yang lebih menghawatirkan,
ya kan?” tanyaku tidak yakin.
“Apa itu?”
Ku tatap matanya, wajahnya tampan
meski kami terpaut usia sepuluh tahun. Tentu saja, bukan hanya ketampanan tapi
aura kematangan serta kemapanan finansial tampak jelas dalam dirinya. Pasti
banyak wanita yang menggodanya di luar sana. Terutama dengan mobil yang di
gunakannya berkendara itu, terlalu mencolok. Tapi, bagi seorang pria ... mobil
adalah gaya hidup, seperti sebuah pencapaian dalam kemapanan. Padahal tanpa ini
semuapun, aku sudah jatuh cinta. Dia memiliki kebaikan seorang malaikat.
Aku memeriksa ekspresi William.
Ku belai rambut coklat yang terpotong rapi itu, tekstur halusnya terasa nyaman
di telapak tanganku, “Tadi itu ... aku tidak mengerti apa yang sebenarnya
terjadi padaku. Aku berhalusinasi? Itu pertanda buruk. Katakan saja, kau kan
seorang dokter.”
“Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, kau baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan, entah apa yang
sudah kau lakukan hari ini?” Dia berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak kelelahan.”
“Oh, tentu saja. Menanam bunga
seharian di cuaca panas seperti itu, tidak melelahkan.” Dia menggodaku.
“Kau tahu dari mana?”
“Aku menelepon siang tadi, Diana
yang mengangkatnya. Dia bilang kau sedang di halaman menanam bibit bunga yang
tadi pagi kau beli.”
“Jadi kau memata-mataiku?”
“Tidak...” Will tampak panik,
“Aku hanya mengecek istriku, kau kan mudah sakit.” Godanya.
“Aku tidak selemah itu.” Belaku.
“Salahkah jika aku
menghawatirkanmu? Buruk sekali rasanya pernah hampir kehilanganmu. Lagipula,
kau masih tidak boleh terlalu cape setelah transplantasi.” Menggunakan tangan
kanannya dia memegang dadaku.
Aku memilin jari tanganku pada
jari-jari tangannya yang hangat, kemudian menatap ke dalam mata hijau tuanya.
Tersenyum, berusaha menenangkan perasaannya.
“Aku tahu kau mencemaskanku, aku
tahu kau mencintaiku. Aku akan menjaga diriku lebih baik lagi.” Aku mengecup
buku-buku jarinya yang agak tegang, kemudian dia sedikit rileks.
“Ya, kau harus menjaga dirimu
untukku.” Dia mengelus naik turun lengkungan pundakku menggunakan tangan
kirinya, “Aku harus mandi,” ucapnya kemudian.
William mengecup
pipiku sekilas, dia melonggarkan genggamannya agar aku bisa melepas tanganku
setelah itu naik ke kamar kami di lantai dua. Aku meraih remote TV yang ada di
meja dekatku. Tanpa antusias ku nyalakan TV plasma besar itu, mengoper-oper
ratusan chanelnya. Ku putuskan untuk menonton siaran berita CNN. Aku geser
sedikit dudukku hingga dekat pegangan sofa. Memposisikan bantal sofa kemudian
membaringkan tubuhku sepenuhnya di sofa kulit hitam yang besar. Kemudian aku
tertidur sebentar sebelum sentuhan William membangunkanku.
-----Puzzle----
Setelah makan
malam, kami menuju ruang keluarga dengan William yang memapahku. Masih terlalu
sore untuk pergi tidur. Lagipula, sebelum makan malam tadi aku sempat tertidur
sebentar. Kami duduk di sofa. William memeluk ku di sisinya, sementara aku
menyandarkan kepalaku di dadanya yang kokoh serta wangi parfum. William mengambil remot dari atas meja
kemudian menyalakan TV. Dia memencet
remot dan mengoper-opernya untuk mencari siaran yang menayangkan film bagus.
William tahu jika aku tidak suka menonton siaran olah raga. Selain karena tidak
ada pertandingan bagus sore ini. Seharian ini kami belum banyak mengobrol, Will
tahu aku akan tertidur dalam waktu kurang dari 10 menit jika kami menonton
pertandingan bola.
William
berhenti memencet remot setelah menemukan siaran film. Seorang wanita muda
sedang kebingungan untuk pulang, karena dia tidak memiliki cukup waktu untuk
naik bus yang seenaknya menaikkan tarif secara mendadak. Dia menggedor-gedor
setiap pintu sambil melihat jam digital yang terpatri di kulit tangannya. Jam
itu berjalan mundur. Rautnya benar-benar cemas. Aku tahu ini film apa.
“In Time.
Aku sudah pernah menontonnya.”
“Kau
ingin merubah channnel?”
“Ini
saja. Aku suka ide filmnya yang bagus.”
Kemudian
film sudah sampai pada adegan yang ironis dan emosional.
“Ironis,
Will Salas memiliki waku seratus tahun tapi tidak bisa menyelamatkan Rachel
yang hanya selangkah darinya.” Ucapku sedih.
“Itukan
hanya film. Jika saja kehidupan sesederhana itu, maka kau akan hidup selamanya
bersamaku,” William memelukku lebih erat, mengelus rambut panjangku.
“Kita
tetap takkan hidup selamanya, meski dalam film itu.” Ucapku sambil mengerutkan
dahi.
“Kenapa? Jika
ukurannya adalah kekayaan, itu bukan masalah.” Ucap Will enteng.
“Tentu
saja akan menjadi masalah,” Debatku keras kepala.”Di film itu pasti takkan ada
orang yang membutuhkan dokter atau rumah sakit karena tidak ada orang sakit.”
“Tidak
masalah, aku akan bekerja keras. Membangun bisnis atau apapun itu agar bisa
sekaya Tn. Weis dan kau akan menemaniku sebagai Ny. Weis”
“Tapi
bagaimana dengan Will Salas?”
“Biar
orang lain saja yang mengambil perannya.”
“Kau
egois.”
William
terkekeh sesaat sebelum berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku akan manjadi pria
paling egois jika itu menyangkut dirimu.”
Aku
menarik napas dalam, “Terserah kau saja,” ucapku menyerah dalam perdebatan
Aku
menaikkan kedua kakiku ke atas sofa, kemudian menidurkan kepalaku di pangkuan
William. Tangan kiri Will memeluk pinggangku, lalu aku meraih dan memainkan
jari-jemarinya yang hangat. Untuk beberapa waktu, kami tidak berbicara.fokus
pada film yang kami tonton. Tiba-tiba aku teringat satu film lama yang sangat
menyeramkan. Film tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi mata.
Mungkinkah apa yang ku alami sore tadi, sama seperti yang dialami gadis itu? Aku
sedang menimbang-nimbang untuk membicarakan suatu topik yang tidak masuk akal
ini bersama William. Agak sedikit berbau mistis malah. Will pasti akan
mentertawaiku habis-habisan. Akhirnya, Tv menayangkan iklan juga.
“Sayang,
kau mengantuk?”
“Tidak,”
jawabku sambil menggelengkan kepala, “ Aku hanya sedang berpikir.”
“Maukah
kau memberitahuku?”
“Entahlah
... kau hanya akan mentertawaiku nanti. Ini benar-benar tidak masuk akal.”
“Apa
masih ada hubungannya dengan film ini?”
“Sama
sekali tidak ada hubungannya. Tapi, memang ada hubungannya dengan film lama
yang pernah ku tonton.”
“Film
apa?”
“The
Eyes, film yang menceritakan tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi
mata. Setelah itu, dia selalu melihat hal-hal aneh yang dulu pernah di lihat
oleh gadis yang mendonorkan mata padanya. Hal-hal menyeramkan, penuh
malapetaka.”
“Biar ku
tebak, itu pasti film horor kan?”
“Ya, film
horor yang sangat menakutkan.”
“Aku tahu
kau akan menghubungkannya ke mana. Sungguh, kau tidak mengalami hal yang sama
dengan tokoh dalam film itu. Kau bukan orang pertama yang menjalani
transplantasi. Lagipula, donormu itu sudah beberapa minggu koma karena kematian
pada otaknya akibat benturan keras pada kecelakaan bus. Kita sudah
berterimakasih pada keluarganya, mereka juga rela dan gembira jika salah satu
organ dari putri mereka bisa terus hidup dan bisa menyelamatkan hidup orang
lain. Gadis itu sudah tenang dan bahagia di surga, tidak ada yang namanya hantu
atau sebagainya,” Will meledekku.
“Tapi,
apa yang terjadi padaku sore tadi?”
William
meringis, mengenang kejadian sore tadi.“Sudah ku katakan jika kau hanya
berhalusinasi. Kau kelelahan, sayang. Bisa juga karena efek samping obat atau
kau mengalami depresi ringan akibat proses transplantasi yang rumit ini. Semua
yang terjadi padamu itu wajar. Dulu aku pernah bilang jika sebagian besar
pasien akan mengalami depresi, perubahan emosi dan sebagainya. Tidak ada hubungannya
dengan hal-hal mistis, percayalah."
“Aku
harap memang itulah yang terjadi.”
“Kau bisa
berbicara pada psikiater jika kau mau.”
“Tidak,
aku tidak mau jika orang beranggapan aku gila.”
“Semua
pasien mendapatkan layanan psikiater. Orang yang mendatangi mereka bukan hanya
orang yang hampir gila atau sebagainya. Tapi, orang-orang yang sedang
membutuhkan dukunganpun membutuhkan mereka.”
“Cukup
kau saja yang mendukungku, Sayang.” Aku menggenggam tangan William di dadaku.
“Aku akan
selalu mendukungmu, aku takkan pernah menyerah.”
“Terimakasih,
Sayang.” Aku mengecup buku-buku jari William.
“Jangan
menghawatirkan hal lain, selain kesembuhanmu.”
Layar
televisi sudah mulai menayangkan film kembali. Kami menonton film tanpa suara.
William mengelus rambutku hingga membuatku mengantuk. Tidak butuh lama sampai
akhirnya aku tertidur. Aku setengah sadar ketika William menggotongku menaiki
anak tangga menuju kamar kami di atas.
---Puzzle-----
No comments:
Post a Comment