Thursday, March 24, 2016

Still Love you


I will still love you Darling....
Sampai akhirnya kita kan berjumpa.
jangan terlalu lama...
find me....
jangan terlalu lama tersesatnya, sayang....
semoga Allah SWT memberikanmu jalan tersingkat dan termudah ke arahku.


Friday, March 18, 2016

Puzzle (1)








Novel ini ku dedikasikan untuk semua wanita yang sedang berjuang melawan sakitnya agar tetap semangat berjuang untuk tetap hidup dan sembuh.

The Puzzle
A Novel Writting By: Olief Lave


What's Wrong
Gelap....
Gelap sekali....
Udara sangat lembab, aku bisa menciumnya...  tubuhku nyeri dan lelah. Aku ingin istirahat, namun seseorang menarik tanganku, dan menyampirkannya di bahu, dia memapahku. Suara seorang pria memberitahu agar kami berlari, nadanya panik dan mendesak. Rasa takut menjalari tubuhku, tapi aku berdiri juga, menuruti ucapannya. kami harus berlari menyelamatkan diri, entah dari apa. kami berlari melewati semak-semak , tanpa tujuan. Dia tak pernah melepaskanku meski kakiku yang berdarah dan sakit harus ku sered dan tentu itu menghambatnya.
“Pergi! Tinggalkan saja aku dan selamatkan dirimu. Aku hanya menghambatmu.”
“Tidak, Eva!” ucapnya mantap, sama sekali tak berniat melepaskanku.
“Tinggalkan aku! Kau harus selamat.”
“Tidak, kau yang terpenting untukku.” Jelas dari suara napasnya yang berat, dia sudah sangat kelelahan.
“Ayo kesini!” Dia menarikku ke balik semak-semak tinggi.
Ketika berjongkok untuk bersembunyi, baru ku rasakan jika mungkin tulang kakiku ada yang retak, aku menutup mulutku kuat-kuat agar tak bersuara. Dia memelukku, sementara matanya memerhatikan ke balik semak. Kami bisa mendengar derap langkah mendekat, sebelum terlihat tiga orang pria berbadan kekar dengan balok-balok kayu di tangan mereka.
Seseorang yang berbadan paling kekar dan tinggi, dengan kepala botak yang mengkilap terkena cahaya bulan dari sela-sela dedaunan, menatap tajam ke tempat kami  bersembunyi. Tiba-tiba seseorang meraih tanganku, menarikku ke dekapannya dengan kasar. Aku berteriak, meronta, memukulnya sekuat tenaga, menendangnya.
“Hei ... hei... apa yang terjadi? Eva .... Sayang.... aw...” dia jelas kesakitan.
Aku bingung, aku mengerjapkan mata dan segalanya tidak gelap lagi, tapi cukup terang, hampir senja. Matahari sudah berada dekat garis cakrawala. Hampir tenggelam dalam lautan yang airnya berkilauan. Sementara aku mencium bau garam dari angin yang berhembus dari arah samudra atlantik yang tepat berada di seberang jalan. Bukan bau lembab hutan seperti yang ku alami tadi.
Ketika ku angkat wajahku, aku mengenali pria yang memelukku ini. Dia suamiku,William.
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah ...  aku baru pulang kerja,” dia menunjuk mobil Ford GT biru nya yang masih terparkir di halaman. Mobil yang sangat mencolok ketika melaju di jalan raya. “Kemudian melihatmu lari, menyered-nyered kaki, bersembunyi di balik semak. Ada apa?”
“Ada tiga orang yang mengejarku, aku berlari dan bersembunyi....”
“Dimana mereka?” Tanya Will.
“Entahlah...”
“Diana....” teriaknya, “Diana...” Panggilnya lagi.
Tak begitu lama, aku melihat Diana berlari menghampiri. Diana adalah kepala pelayan kami.
“Apa yang terjadi? Apa ada orang-orang yang mengejar Nyonya?”
“Orang- orang?”
“Ya, Nyonya bilang ada orang-orang yang mengejarnya.”
“Tidak ada siapapu, Tuan.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak tahu, tapi tadi Nyonya memecahkan teko kemudian dia berlari keluar....”
“Sudah ... kau boleh pergi.” William terlihat panik.
“Permisi, Tuan, Nyonya.”
“Apa aku berhalusinasi?” Will tidak menjawab, dia menatap cemas, “Aku tidak gila kan? Tiba-tiba aku berada di hutan, tiga orang mengejarku dan disana gelap sekali....”
“Eva ... Eva ...” panggilnya, menghentikan ceritaku, “Tidak, kau tidak gila. Kau pasti hanya kelelahan, melamun kemudian berhalusinasi.”
Aku berusaha mengingat bagaimana itu bisa terjadi. Aku ingat tadi sedang mengisi air untuk ku masukkan dalam lemari es. Kemudian semua terjadi, dan telapak kakiku terasa perih. Mungkin ini hanya kebetulan.
“Ayo, kita masuk.” Will memelukku.
Aku berjalan di sampingnya, berusaha menyembunyikan kakiku yang sakit.
“Ada apa dengan kakimu?”
“Aku tidak tahu.”
“Sini....” Will sudah meraih tanganku dan menggendongku di pelukannya.
“Turunkan aku ... mereka nanti melihat kita.”
“Biarkan saja, Eva.”
Pipiku bersemu merah, panas rasanya. Kemudian melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Kami memasuki rumah kami yang bergaya minimalis. Rumah dua lantai yang besar, dengan cat putih dan jendela-jendela lebar. Ketika melewati dapur, aku melihat beberapa pelayan sibuk memasak makan malam dan seorang sedang mengepel lantai, membersihkan pecahan teko kaca. Baru dua minggu lebih kami pindah ke sini. Sebelumnya kami tinggal di sebuah condominium yang sangat dekat dengan rumah sakit di Queens. Hanya saja, aku kurang begitu nyaman tinggal di Queens. Di sana sangat ramai, dan aku butuh tempat yang lebih damai.
“I love you.” Bisik Will di telingaku.
"I Love you, too,” jawabku singkat sebelum Will mengecup pipiku mesra, kemudian beralih ke bibirku. Aku membalas ciumannya.
William mendudukkanku di atas sofa kulit hitam di ruang keluarga, dia masih menciumku. Beberapa detik kemudian dia berhenti, tersenyum karena teringat sesuatu yang sempat terlupakan. Sekali lagi dia mengamati ekspresiku penuh khawatir. Aku melepaskan pelukanku, merasa malu. William beranjak, mengambil kotak obat di laci meja tv. Beberapa detik kemudian dia sudah duduk di sampingku.
“Biar ku lihat kakimu,” dia membuka sandalku yang tipis.
Di alas sandal kaki kananku menempel darah yang lumayan banyak dan lengket ke kulitku. Sepertinya ketika teko itu pecah, ada serpihan kaca yang terpental ke sandalku dan terinjak. Aku merasa perih di sekitar lengkungan telapak kaki kananku.
“Apa perlu di jahit?” tanyaku ngeri.
“Aku harus membersihkannya dulu, jangan sampai ada pecahan yang tertancap. Akan terasa sedikit sakit.” William mengambil kapas dan cairan antiseptik dari kotak obat.
Aku tersenyum, memutar bola mataku, meremehkan. Dia mulai membersihkan kulit di sekitar lukaku. Kemudian mengambil penjepit untuk  menarik serpihan kaca yang tertancap. Darah kembali keluar, rasanya perih ketika menyentuh kapas. Tapi, jujur saja ini tidak ada apa-apanya. Beberapa kali masuk ruang operasi, luka sekecil ini tidak ada apa-apanya, namun tetap saja aku reflek menarik kaki dan meringis.
“Tahan sebentar,” ucapnya sedih.
“Tenang saja, ini kan luka kecil.” Aku tersenyum.
“Benar, hanya luka kecil.” Dia sudah selesai membersihkan lukaku, kemudian mengambil plester dan menempelkannya di lukaku.
“Ada yang lebih menghawatirkan, ya kan?” tanyaku tidak yakin.
“Apa itu?”
Ku tatap matanya, wajahnya tampan meski kami terpaut usia sepuluh tahun. Tentu saja, bukan hanya ketampanan tapi aura kematangan serta kemapanan finansial tampak jelas dalam dirinya. Pasti banyak wanita yang menggodanya di luar sana. Terutama dengan mobil yang di gunakannya berkendara itu, terlalu mencolok. Tapi, bagi seorang pria ... mobil adalah gaya hidup, seperti sebuah pencapaian dalam kemapanan. Padahal tanpa ini semuapun, aku sudah jatuh cinta. Dia memiliki kebaikan seorang malaikat.
Aku memeriksa ekspresi William. Ku belai rambut coklat yang terpotong rapi itu, tekstur halusnya terasa nyaman di telapak tanganku, “Tadi itu ... aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku berhalusinasi? Itu pertanda buruk. Katakan saja, kau kan seorang dokter.”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kau baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan, entah apa yang sudah kau lakukan hari ini?” Dia berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak kelelahan.”
“Oh, tentu saja. Menanam bunga seharian di cuaca panas seperti itu, tidak melelahkan.” Dia menggodaku.
“Kau tahu dari mana?”
“Aku menelepon siang tadi, Diana yang mengangkatnya. Dia bilang kau sedang di halaman menanam bibit bunga yang tadi pagi kau beli.”
“Jadi kau memata-mataiku?”
“Tidak...” Will tampak panik, “Aku hanya mengecek istriku, kau kan mudah sakit.” Godanya.
“Aku tidak selemah itu.” Belaku.
“Salahkah jika aku menghawatirkanmu? Buruk sekali rasanya pernah hampir kehilanganmu. Lagipula, kau masih tidak boleh terlalu cape setelah transplantasi.” Menggunakan tangan kanannya dia memegang dadaku.
Aku memilin jari tanganku pada jari-jari tangannya yang hangat, kemudian menatap ke dalam mata hijau tuanya. Tersenyum, berusaha menenangkan perasaannya.
“Aku tahu kau mencemaskanku, aku tahu kau mencintaiku. Aku akan menjaga diriku lebih baik lagi.” Aku mengecup buku-buku jarinya yang agak tegang, kemudian dia sedikit rileks.
“Ya, kau harus menjaga dirimu untukku.” Dia mengelus naik turun lengkungan pundakku menggunakan tangan kirinya, “Aku harus mandi,” ucapnya kemudian.

William mengecup pipiku sekilas, dia melonggarkan genggamannya agar aku bisa melepas tanganku setelah itu naik ke kamar kami di lantai dua. Aku meraih remote TV yang ada di meja dekatku. Tanpa antusias ku nyalakan TV plasma besar itu, mengoper-oper ratusan chanelnya. Ku putuskan untuk menonton siaran berita CNN. Aku geser sedikit dudukku hingga dekat pegangan sofa. Memposisikan bantal sofa kemudian membaringkan tubuhku sepenuhnya di sofa kulit hitam yang besar. Kemudian aku tertidur sebentar sebelum sentuhan William membangunkanku.
-----Puzzle----

Setelah makan malam, kami menuju ruang keluarga dengan William yang memapahku. Masih terlalu sore untuk pergi tidur. Lagipula, sebelum makan malam tadi aku sempat tertidur sebentar. Kami duduk di sofa. William memeluk ku di sisinya, sementara aku menyandarkan kepalaku di dadanya yang kokoh serta wangi parfum.  William mengambil remot dari atas meja kemudian menyalakan TV.  Dia memencet remot dan mengoper-opernya untuk mencari siaran yang menayangkan film bagus. William tahu jika aku tidak suka menonton siaran olah raga. Selain karena tidak ada pertandingan bagus sore ini. Seharian ini kami belum banyak mengobrol, Will tahu aku akan tertidur dalam waktu kurang dari 10 menit jika kami menonton pertandingan bola.
William berhenti memencet remot setelah menemukan siaran film. Seorang wanita muda sedang kebingungan untuk pulang, karena dia tidak memiliki cukup waktu untuk naik bus yang seenaknya menaikkan tarif secara mendadak. Dia menggedor-gedor setiap pintu sambil melihat jam digital yang terpatri di kulit tangannya. Jam itu berjalan mundur. Rautnya benar-benar cemas. Aku tahu ini film apa.
“In Time. Aku sudah pernah menontonnya.”
“Kau ingin merubah channnel?”
“Ini saja. Aku suka ide filmnya yang bagus.”
Kemudian film sudah sampai pada adegan yang ironis dan emosional.
“Ironis, Will Salas memiliki waku seratus tahun tapi tidak bisa menyelamatkan Rachel yang hanya selangkah darinya.” Ucapku sedih.
“Itukan hanya film. Jika saja kehidupan sesederhana itu, maka kau akan hidup selamanya bersamaku,” William memelukku lebih erat, mengelus rambut panjangku.
“Kita tetap takkan hidup selamanya, meski dalam film itu.” Ucapku sambil mengerutkan dahi.
“Kenapa? Jika ukurannya adalah kekayaan, itu bukan masalah.” Ucap Will enteng.
“Tentu saja akan menjadi masalah,” Debatku keras kepala.”Di film itu pasti takkan ada orang yang membutuhkan dokter atau rumah sakit karena tidak ada orang sakit.”
“Tidak masalah, aku akan bekerja keras. Membangun bisnis atau apapun itu agar bisa sekaya Tn. Weis dan kau akan menemaniku sebagai Ny. Weis”
“Tapi bagaimana dengan Will Salas?”
“Biar orang lain saja yang mengambil perannya.”
“Kau egois.”
William terkekeh sesaat sebelum berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku akan manjadi pria paling egois jika itu menyangkut dirimu.”
Aku menarik napas dalam, “Terserah kau saja,” ucapku menyerah dalam perdebatan
Aku menaikkan kedua kakiku ke atas sofa, kemudian menidurkan kepalaku di pangkuan William. Tangan kiri Will memeluk pinggangku, lalu aku meraih dan memainkan jari-jemarinya yang hangat. Untuk beberapa waktu, kami tidak berbicara.fokus pada film yang kami tonton. Tiba-tiba aku teringat satu film lama yang sangat menyeramkan. Film tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi mata. Mungkinkah apa yang ku alami sore tadi, sama seperti yang dialami gadis itu? Aku sedang menimbang-nimbang untuk membicarakan suatu topik yang tidak masuk akal ini bersama William. Agak sedikit berbau mistis malah. Will pasti akan mentertawaiku habis-habisan. Akhirnya, Tv menayangkan iklan juga.
“Sayang, kau mengantuk?”
“Tidak,” jawabku sambil menggelengkan kepala, “ Aku hanya sedang berpikir.”
“Maukah kau memberitahuku?”
“Entahlah ... kau hanya akan mentertawaiku nanti. Ini benar-benar tidak masuk akal.”
“Apa masih ada hubungannya dengan film ini?”
“Sama sekali tidak ada hubungannya. Tapi, memang ada hubungannya dengan film lama yang pernah ku tonton.”
“Film apa?”
“The Eyes, film yang menceritakan tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi mata. Setelah itu, dia selalu melihat hal-hal aneh yang dulu pernah di lihat oleh gadis yang mendonorkan mata padanya. Hal-hal menyeramkan, penuh malapetaka.”
“Biar ku tebak, itu pasti film horor kan?”
“Ya, film horor yang sangat menakutkan.”
“Aku tahu kau akan menghubungkannya ke mana. Sungguh, kau tidak mengalami hal yang sama dengan tokoh dalam film itu. Kau bukan orang pertama yang menjalani transplantasi. Lagipula, donormu itu sudah beberapa minggu koma karena kematian pada otaknya akibat benturan keras pada kecelakaan bus. Kita sudah berterimakasih pada keluarganya, mereka juga rela dan gembira jika salah satu organ dari putri mereka bisa terus hidup dan bisa menyelamatkan hidup orang lain. Gadis itu sudah tenang dan bahagia di surga, tidak ada yang namanya hantu atau sebagainya,” Will meledekku.
“Tapi, apa yang terjadi padaku sore tadi?”
William meringis, mengenang kejadian sore tadi.“Sudah ku katakan jika kau hanya berhalusinasi. Kau kelelahan, sayang. Bisa juga karena efek samping obat atau kau mengalami depresi ringan akibat proses transplantasi yang rumit ini. Semua yang terjadi padamu itu wajar. Dulu aku pernah bilang jika sebagian besar pasien akan mengalami depresi, perubahan emosi dan sebagainya. Tidak ada hubungannya dengan hal-hal mistis, percayalah."
“Aku harap memang itulah yang terjadi.”
“Kau bisa berbicara pada psikiater jika kau mau.”
“Tidak, aku tidak mau jika orang beranggapan aku gila.”
“Semua pasien mendapatkan layanan psikiater. Orang yang mendatangi mereka bukan hanya orang yang hampir gila atau sebagainya. Tapi, orang-orang yang sedang membutuhkan dukunganpun membutuhkan mereka.”
“Cukup kau saja yang mendukungku, Sayang.” Aku menggenggam tangan William di dadaku.
“Aku akan selalu mendukungmu, aku takkan pernah menyerah.”
“Terimakasih, Sayang.” Aku mengecup buku-buku jari William.
“Jangan menghawatirkan hal lain, selain kesembuhanmu.”
Layar televisi sudah mulai menayangkan film kembali. Kami menonton film tanpa suara. William mengelus rambutku hingga membuatku mengantuk. Tidak butuh lama sampai akhirnya aku tertidur. Aku setengah sadar ketika William menggotongku menaiki anak tangga menuju kamar kami di atas.
---Puzzle-----




Monday, March 14, 2016

Puzzle (Prolog)

Prolog



Jika kau menjalani hidup ku, tentu akan banyak pertanyaan dalam benakmu. Bukan karena aku orang yang suka mengeksplorasi banyak hal, tetapi lebih kepada siapakah diriku sebenarnya? Ingatanku penuh lubang-lubang tak lengkap. Bahkan, sesuatu yang paling penting untukkupun tak dapat ku ingat, tidak mudah juga ku yakini jika semua merupakan kebenaran. Seperti ada kabut tebal yang menutupi kenangan masa laluku.
Aku telah lolos dari kematian berkali-kali, bahkan rasa sakit bagiku tidaklah sama seperti apa yang dirasakan orang lain. Menghadapi meja operasi bukan hal yang terlalu menakuktkan. Pastilah karena ada dia yang menggenggam tanganku. Pria yang ku cintai.
Jika hidup yang ku jalani adalah kepingan puzle yang kepingan-kepingannya hilang, sudah menjadi kebutuhanku untuk menyusun kembali dan menemukan kepingan-kepingan yang hilang itu agar hidupku tak lagi terselimuti misteri. Terutama jika aku menemukan banyak kebohongan dalam hidupku yang ku pikir sempurna. Atau seperti itulah awalnya.
Mungkin benar apa yang dikatakan orang, “jangan terburu-buru mengambil keputusan.” Terutama jika itu bersangkutan dengan pernikahan. Tapi, apakah itu berlaku untuk semua orang? Jika aku tak mencobanya, darimana aku tahu jika telah membuat kesalahan? Apalagi jika pria itu adalah pria yang siap melakukan apapun untuk membuat jantungku tetap berdetak.
Bukankah hasil yang diperoleh dari keputusan setiap orang tidaklah sama?











Surat Untuk Jodohku

Aku mencarimu,
aku juga tahu kau sedang mencariku.
Aku resah karena tak kunjung menemukanmu,
aku juga tahu, kau sama resahnya karena tak jua menemukanku
Aku tersesat berkali-kali, salah mengira itu dirimu.
kaupun mungkin tersesat berkali-kali salah mengira itu diriku.
Aku yakin akan menemukanmu suatu saat yang indah
kaupun yakin akan menemukanku suatu saat yang indah
Mari kita sama-sama berdo'a, sayang....
Semoga Allah SWT segera mempertemukan dan menyatukan kita.
Dua belahan hati yang terpisah.
Aku mencintaimu, Jodohku....
Aku juga tahu jika kau mencintaiku, Jodohku.
Dimanakah kau berada?
Aku berdoa, semoga hati dan dirimu selalu Allah jaga, sampai akhirnya bersatu denganku.
Begitupun aku yang kan selalu menjaga diriku, untuk menjadi seseorang yang paling istimewa ketika menjadi istrimu kelak.

Teruntuk jodohku, dimanapun kau berada.
Olief Lave


#To my Soulmate