Wednesday, December 25, 2013

The Davian Chapter 2

Hai.... :) :)
Oke, dalam satu hari ini saya mengepos beberapa chapter dalam novel saya The Davian jilid pertama.Setelah tadi, beberapa waktu mencari gambar ilustrasi yang kiranya cocok untuk menggambarkan situasi ini. sangat cukup sulit juga carinya, semoga suka :)

Memang dalam novel ini menggunakan nama-nama barat, khususnya eropa, tapi untuk tokoh utama sendiri  "Frea" merupakan nama yang berasal dari bahasa Indonesia. Frea berarti Bangsawan yang adil. Hampir seluruh nama tokoh di The Davian memiliki arti tersendiri, dan hampir seluruhnya juga didapat dari situs http://www.idenamabayi.com/   situs yang benar-benar sangat membantu untuk mencari inspirasi nama-nama tokoh, udah gitu berikut arti dan lengkap banget.

Saya pernah menunjukkan novel ini kepada partner nulis Fantasi saya untuk novel yang lain. Minta tolong untuk baca dan mengomentari, dan dia bilang kalau ini membahas hal yang sama dengan Casual Vacancy nya JKR. padahal, sungguh novel ini sudah ada idenya di kepala sebelum Casual Vacancy rilis, dan saya juga belum pernah baca novel JKR yang satu itu, meski saya sangat ngefans sama JKR dan karya-karya amazing HArry Potternya. So... saya yakin ini novel alurnya dan isinya beda banget dari sinopsis Casual Vacancy, meski sama-sama mengangkat masalah sosial, dan di seting abad pertengahan. hahaha.... coz i love classic story. hakakakak.... Tau kah? Pada bab pertama, saya tulis setelah bab lain jadi, dan dalam kondisi patah hati... hik... hik.... semoga pembaca bisa merasakan pedihnya tragdi itu, tapi... upz kasus beda, saya patah hati bukan karena orang yang dicintai tewas, tapi karena ditinggal nikah :( huaaa..... Upz... curcol boo....

Waw kayanya udah terlalu banyak bercerita deh. Yuuk silahkan dibaca, ditunggu komentar dan kritik nya,,,, folow juga ya..... :):):)


The Davian Book 1
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih
Bab 2: Keluarga Seablert
                Suara gaduh sentakan kaki dengan lantai parket kayu terdengar. Mengganggu Fiona Seablert yang sedang menata sarapan di ruang makan, satu lantai dibawah sumber suara. Tidak lama kemudian, terdengar suara dua wanita muda yang berdebat. Markuires Seablert berusaha mengacuhkan suara berisik itu. Ia terus menata meja sambil memberikan perintah dan mengecek pekerjaan pelayan-pelayannya.
                Markuires Fiona Seablert adalah istri dari Markuis Verrel Seablert. Seorang wanita yang masih terlihat cantik diusia 42 tahun. Kulitnya putih bersih, memiliki rambut ikal berwarna emas yang selalu ia tata dengan gelungan sederhana. Jepit dari perak atau emas yang dihias mutiara maupun batuan mulia berbentuk bunga memanjang, selalu tersemat di sisi kanan rambut. Verrel sungguh beruntung mendapatkan Fiona yang digilai pria bangsawan, pada masa mudanya.
“Ibu ... Frea mengambil jepit rambutku.”
                “Pengadu! Lagipula, ini milikku yang belum kau kembalikan.”
                “Elenor Frea, Daila Rose ... jangan sampai ibu naik keatas!” Ancam Nyonya Seablert dari ruang makan. Suaranya terdengar berteriak.
                “Frea mengambil jepit tulip yang sedang kupakai.”
                “Aku hanya mengambil milikku,” bela Frea.
                Frea berlalu menjauh dari Daila, mendekati tangga turun. Rambut ikal cokelat sepunggungnya mengibas. Daila mengikuti dari belakang, berusaha merebut kembali jepit rambut tulip yang terbuat dari emas putih, serta berhiaskan berlian kuning di bagian putik.
                Sepintas, Frea dan Daila tampak sama. Mereka memiliki bibir tipis merah dari Fiona. Bola mata mereka berwarna hijau terang, Daila memiliki dagu labih lancip, sedangkan Frea memiliki hidung mancung sama seperti ayahnya, lebih mancung dari Daila dan ibunya. Serta Frea lebih tinggi dua senti dari adiknya, rambut Daila memiliki warna yang sama dengan rambut Fiona, keemasan. Hanya saja sedikit gelap karena Verrel memiliki rambut coklat. Sedangkan warna rambut Frea lebih coklat, lebih mirip warna rambut Verrel, hanya sedikit lebih terang.
                “Margharet, kau awasi pekerjaan para pelayan. Aku tidak tahan dengan keributan diatas.”
                “Baik, Nyonya.”
                Kepala pelayan urusan dapur berusia 60 tahun itu mengangguk, mengiyakan perintah Fiona. Walau sudah tua, Margharet masih terlihat segar. Apalagi dengan penampilannya yang selalu rapi dan bersih. Walaupun, rambut yang selalu digelung itu sudah hampir memutih sempurna.
                Fiona naik ke lantai dua. Menuju sumber keributan. Dengan perasaan jengkel dan kesal. Sepertinya tidak ada seharipun tanpa pertengkaran diantara kedua putrinya itu. Segala hal maupun barang dapat diperebutkan ataupun diributkan oleh mereka. Dan tidak ada seorang pun yang mau mengalah.
                “Kali ini apa yang kalian ributkan?”
                “Frea merebut jepit rambut yang sedang aku kenakan, Bu.”
                “Tidak ... Daila yang mengambilnya diam-diam berbulan-bulan lalu dariku.”
                “Itu tidak benar. Aku pernah bilang meminjam padamu.”
                “Kapan?”
                “Su ... sudah lama. Kau pasti sudah lupa.”
“Hentikan! Frea, mungkin kau dapat meminjamkannya pada adikmu.”
                “Tidak Bu, sudah terlalu lama. Lagipula aku ingin memakainya, dan akan sangat cantik di rambutku. Kau tahu kan Daila, kalau hadir dalam parade itu sangat penting. Siapa tahu, Dux of  Swaggart hadir.”
                “Ibu....” rengek Daila.
                “Pakai jepit rambut yang lain! Ibu bosan menengahi pertengkaran kalian!”
                Fiona beranjak menuruni tangga kayu berukiran. Meninggalkan selasar lantai dua. Mulutnya komat-kamit mengatakan kata-kata kesal terhadap kedua putrinya dengan suara hampir tak terdengar.
                “Dan Daila, sudah berapa kali ibu katakan. Tidak sopan memanggil kakakmu hanya dengan namanya. Panggil Frea kakak!” Ucap Fiona dengan tegas sebelum ia benar-banar tidak terlihat.
“Kau dengar itu adik! Dan keahlian dustamu tidak ampuh untuk mengalahkanku.”
“Kau jahat! Lagipula, sejak kapan kau kembali peduli pada remeh temeh parade dan pesta?”
“Sejak hari ini. Aku putuskan untuk kembali. Aah ... ternyata aku cukup rindu menjadi pusat perhatian.”
“Kau tidak sungguh-sungguh kan?”
“Kau takut tersaingi?”
Frea menatap tajam mata Daila. Jelas sekali adiknya itu terkejut dan merasa terancam kalau sampai Frea kembali. Selama beberapa tahun terakhir semenjak Frea menarik diri saja, Daila belum bisa mengalahkan pamor dan ketenaran kakaknya sebagai lady idaman setiap gentlemant.
“Tenang saja, karena aku tidak pernah menanggapmu saingan. Ah ya ... kau belum pantas ku anggap saingan, itu maksudku.”
“Kau jahat!”
“Panggil aku kakak! Tidak sopan!”
Frea meninggalkan Daila yang terbengong-bengong tidak percaya sekaligus kesal. Bagaimana mungkin ia bisa kalah lagi dari Frea, pikirnya dalam hati. Sekaligus merasa kalau kedua orangtuanya pilih kasih. Lebih menyayangi Frea dibanding dirinya. Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, kalau ia sangat terancam dengan niat kembalinya Frea.
°The Davian°
Meja makan telah terisi penuh oleh seluruh anggota keluarga. Daila yang malas-malasan dalam menyantap roti gandum dengan isi daging sapi panggang, justru sangat asik memainkan rambut kuningnya yang panjang dan sedikit ikal. Nyonya seablert menatap kesal kepada putri bungsunya itu. Ia paling benci bila ada yang memainkan makanan. Seakan tidak menghargai kerja keras petani hingga gandum itu dapat dibuat roti oleh pelayan, dan barulah dapat terhidang di atas meja makan.
“Ibu ... boleh aku menyudahi sarapanku?”
“Tidak! Habiskan makananmu!”
“Aku sungguh sudah kenyang, Bu.”
“Kenyang? Bahkan menyentuhnya saja belum.”
“Aku takut gemuk bu.... Bagaimana kalau aku makan buah saja ya?”
“Habiskan rotimu dulu! Jangan membuang-buang makanan! Kau tahu roti itu dibuat dengan proses yang panjang, hingga akhirnya tersedia  diatas piringmu kan?”
“Ya ... ya.... Ibu akan mengatakan bagaimana proses gandum ditanam, hingga bisa dibuat roti oleh pelayan, dan bla ... bla ... bukan? Ibu sudah sering mengatakannya.”
“Lantas, kenapa kau selalu membantah?”
“Itu karena....”
“Selalu seperti ini disaat makan,” Keluh Verrel Seablert.
Pertengkaran itu akhirnya berhenti. Daila dengan terpaksa harus menghabiskan sarapannya. Fiona tersenyum puas, karena memenangkan perdebatan dengan Daila. Untuk sesaat, suasana tenang tercipta diruang makan. Sedangkan Frea sendiri, sejak awal tidak berminat berada dalam pertengkaran adik dan ibunya. Ia lebih memilih makan dengan tenang, sama seperti ayahnya.
“Frea ... ayah dengar semalam kau mimpi buruk lagi?”
“Sepertinya begitu,” Frea tersenyum berusaha tegar.
“Apa ayah perlu memanggil dok....”
“Tidak perlu,” Potong Frea, “Bisa ku atasi.”
“Well, baiklah. Ngomong-ngomong apa kau dapat menemani ayah berlatih memanah pagi ini?”
“Tentu. Aku tidak memiliki rencana apapun hari ini.”
“Kau memang tidak punya rencana apapun selama empat tahun terakhir!”
“Ah ya ... aku lupa. Aku tidak sepertimu yang selalu menghabiskan waktu di butik untuk menguras uang keluarga.”
“Kita ini bangsawan, sudah seharusnya hidup seperti itu kan? Aku sempat berpikir, apa kau benar-benar bangsawan? Apa kau benar-benar anak ayah dan ibu?”
“Kau bisa melihat siapa yang lebih mirip. Aku atau dirimu dalam hal bersikap. Ah ... ya, aku dengar kau belum bisa menyamaiku. Padahal aku sudah memberimu waktu empat tahun untuk lebih baik.”
“Frea ... Daila ... hentikan!” Sentak Verrel.
“Maafkan aku, ayah.” Frea memberikan senyum kecil inocent.
“Baiklah ... bagaimana? Kau mau menemani ayah berlatih?”
“Bagaimana mungkin aku menolak.”
“Bagus.”
“Tidak seharusnya kau selalu mengajak Frea berlatih. Ia Lady, bukan gentleman.”
“Apa aku salah, Fiona? Kita kan tidak punya anak laki-laki. Lagipula, Frea tidak keberatan kan?”
“Tentu. Aku tidak keberatan.”
“Makanya, kau harus segera menikah agar ayah memiliki anak laki-laki. Benar kan Bu, Yah?”
Fiona dan Verrel diam saja. Tidak menanggapi sindiran Daila terhadap Frea. Justru, Verrel mengendurkan celana agar dapat bernapas lebih lega. Karena faktor usia, beberapa tahun terakhir, tubuh Verrel kelebihan beberapa kilo berat badan. Meski dia masih terlihat gagah, selain aura bijaksana yang semakin tua semakin menarik.
Walaupun usia putri sulungnya itu 22 tahun. Tetapi, mereka tidak ingin sebuah pengalaman pahit terulang lagi. Apalagi kala itu, cukup membuat mereka kewalahan dan menanggung malu di kalangan bangsawan. Penolakan tegas yang memalukan berkali-kali dilakukan Frea dengan perasaan tanpa dosa. Upaya yang Verrel lakukan dengan harapan putrinya itu bisa melupakan masa lalu tragis.
“Aku pasti akan menikah. Tenang saja.”
“Setelah menolak berapa banyak lagi? Sampai sekarang saja, sudah enam pria yang kakak tolak bukan?”
“Karena mereka semua sama saja. Tidak berbeda seperti....”Sebulir air mata menetes, tepat setelah ia menundukkan kepala sambil menjejalkan roti dalam mulutnya.
“Dre? Pemuda pengangguran tidak jelas yang kau pungut di pinggir jalan itu? Seleramu benar-benar rendah!”
“Apa kau bilang? Kupungut di jalan? Kau pikir dia lebih hina dari pria-pria bangsawan yang kau kencani?”
“Oh ya, tentu saja!”
“Hentikan, Daila! Tidak perlu dibahas lagi! Ayah yakin, suatu saat akan ada pria yang pantas untuk Frea. Masalah cinta, tidak bisa dipaksakan. Kelak kau akan mengerti dengan semua yang dilakukan kakakmu. Dia masih membutuhkan banyak waktu untuk melupakan masa lalu.”
“Dan kau, Daila. Senang betul membuat keributan diruang makan!” Fiona sedikit marah.
“Selalu aku yang salah.”
°The Davian°
            Matahari baru saja mulai naik. Memberikan udara hangat di bulan Agustus. Rumput tumbuh hijau terbentang di halaman belakang puri yang luas. Lebih kebelakang lagi, terdapat hutan pinus. Titik air melembabkan rumput. Semalam hujan gerimis selama satu jam masih meninggalkan titik-titik air itu dipermukaan rumput jepang.
                Frea dan ayahnya, Verrel Seablert, telah berada di halaman belakang itu. Papan target yang dipasang permanen bertahun-tahun lalu, sudah mulai terlihat usang. Terlihat dalam waktu lama sudah jarang digunakan berlatih. Lubang-lubang bekas tancapan panah, sudah mulai menghilang dimakan cuaca. Frea menggelung rambutnya menggunakan tusuk konde perak berhias beberapa mutiara diujungnya. Ia sudah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan gaun seperti ketika sarapan. Kemeja putih berlengan lebar, ikat pinggang kulit serta celana kulit hitam yang ketat mengkilap. Setelan yang sejatinya dipakai oleh pria.
“Siapa yang akan memulai lebih dulu?”
“Ayah dulu saja.”
“Oke....”
Tuan Seablert menarik anak panah dan mulai melakukan sikap memanah. Ia menarik busur kebelakang, matanya konsentrasi membidik sasaran. Berusaha agar anak panah itu dapat menancap di bagian terdalam lingkaran yang berwarna merah itu. Tidak lupa, Tuan Seablert menghitung kecepatan serta arah angin. Setelah ia rasa siap meluncurkan anak panah, dengan kecepatan penuh, anak panah menancap pada papan sasaran.
“Yea ... lumayan. Walau panah ayah berada di tengah sasaran. Tetapi, hampir menyentuh garis.”
“Cobalah kalahkan ayah!”
“Well ... apa hadiah bila aku dapat mengalahkan ayah?”
“Apapun yang kau minta.”
“Oke....”
Dalam gerakan secepat kilat, Frea membidik papan sasaran. Anak panah meluncur secepat angin. Tahu-tahu sudah menancap tepat di tengah-tengah papan sasaran. Dengan nilai sempurna. Tuan Seablert sempat terkesima, sungguh mengagumkan. Tiga detik kemudian, ia memberikan tepuk tangan.
“Tidak ku sangka. Padahal, sudah bertahun-tahun kau tidak berlatih.”
“Bakat tidak akan pernah hilang bukan, Yah?”
“Andai kau laki-laki ... pasti sudah menjadi komandan perang, atau mungkin seorang jendral....”
“Tapi, sayangnya aku wanita kan?”
“Kau tetap permata bagi ayah.”
Frea hanya membalas ucapan ayahnya dengan senyuman tulus seperti biasanya. Sudah lama memang mereka tidak berlatih. Frea yang semakin dewasa menjadikan mamanah bukanlah hal yang begitu penting dan pantas lagi untuk dipelajari.
“Masalah hadiah ... apa benar ayah akan memberikan apapun?”
“Kau ... tidak pernah melupakan ucapan ayah.”
“Janji adalah janji bukan?”
“Ya ... ya.... Jadi apa yang kau inginkan?”
“Untuk saat ini belum ada.”
“Baiklah.... Kalau suatu saat kau sudah memiliki permintaan, akan ayah kabulkan.”
“Apapun itu?”
“Apapun itu.”
“Dan ngomong-ngomong ... apa kau akan menghadiri parade siang ini?”
Kini mereka sudah duduk di kursi taman yang terletak di sisi kiri tempat latihan memanah. Di bawah pohon beringin besar yang rindang. Terdapat taman kecil yang ditanami bunga mawar dan lily beraneka jenis, serta beberapa jenis anggrek. Bunga-bunga yang sebagiannya ditanam oleh Fiona dan Frea dikala senggang. Bunga-bunga itu tidak ditata secara jenis maupun warna, tetapi ditanam begitu saja dimana mereka suka.
“Aku rasa aku akan datang. Lagipula, tadi pagi sudah terlanjur bertengkar memperebutkan jepit rambut pemberian ayah. Daila memang sungguh menyebalkan! Bila meminjam, hampir tidak pernah ia kembalikan, tanpa aku ambil paksa.”
“Seperti itulah adikmu. Tetapi, walau bagaimanapun, ia tetap saudaramu.”
“Aku tahu, dan aku sangat menyayanginya tentu.”
“Bagus ... kita semua akan berangkat menonton parade, termasuk Margharet dan Hugo. Dan Frea, ayah senang kau mau kembali kedalam pergaulan. Itu berarti kau sudah bisa mengubur masa lalu itu. Ayah sendiri merasa bersalah dan merasa ikut andil dalam tragedi yang menyebabkan kematian Dre. Andai ada yang dapat ayah lakukan selain kata maaf.”
“Aku sudah akan bisa mengatasinya, Yah. Aku rasa, kami bukan ditakdirkan untuk bersama. Ayah juga tahu kalau kita tidak akan pernah bisa melawan takdir, seperti yang selalu ayah katakan padaku.”
“Kau sudah lebih dewasa sekarang.”
“Tentu saja, aku 22 tahun, Yah. Walau aku sempat menghilang. Jauh kedalam hatiku yang merana. Meratapi yang sudah terjadi bukanlah hal bijak, akhirnya aku sadar tentang itu. Kisah kami indah, dan biar itu selamanya indah. Menjadi petualangan terliarku dalam hidup, hingga aku mengerti mengenai hidup.”
“Putriku....” Verrel memeluk Frea. Air mata menetes dipipinya, yang segera dihapus.
“Ayah ... aku sudah bangkit. Jangan mengkawatirkanku lagi, ya....”
“Tentu ... tentu, Putriku.” Verrel melepaskan pelukannya, menepuk pundak Frea sambil tersenyum tegar, “Ah ... matahari sudah mulai naik, sebaiknya kita masuk kedalam.”
“Ya....”
Verrel berlalu berjalan dibawah rindangnya maple-maple berdaun merah yang rindang, yang ditanam dipinggir-pinggir trotoar taman hingga menjadikannya rindang serta penuh warna. Frea tersenyum menatap punggung ayahnya yang sudah tidak begitu tegap lagi seperti ketika Frea kecil. Dipunggung itu, Verrel sering menggendongnya masuk ke puri selesai jalan-jalan ditaman seperti hari ini. Terkadang Frea rela berpura-pura terjatuh saat berjalan-jalan agar ayahnya itu mau menggendongnya, terkadang sampai membuatnya tertidur dipundak ayahnya itu.
“Frea ... ayo!” Panggil Verrel setelah agak jauh namun putrinya masih terpaku ditempat semula.
“Ya, Ayah....” ucapnya sembari tersenyum.
Sebenarnya Frea tidak begitu suka menonton parade maupun menghadiri pesta bangsawan empat tahun terakhir. Ia menyadari kalau pesta-pesta itu suatu pemborosan. Selain itu, banyak lady yang hanya berpura-pura menyukainya. Tapi, pada kenyataannya hampir semua mereka saling membenci karena persaingan. Mereka seperti boneka-boneka porselen cina yang memakai riasan tebal, penuh sandiwara, penuh kepalsuan. Menyembunyikan siapa diri mereka sesungguhnya dihadapan orang lain. Satu hal lagi, istri-istri bangsawan yang terlihat bahagia dan tegar itu kebanyakan wanita-wanita yang rapuh didalam, mereka tidak benar-benar bahagia. Melainkan jiwa mereka hancur perlahan, tanpa disadari.
°The Davian°

The Davian. Chapter 1

Oke.... kali ini saya akan ngepos bab pertama dari novel solo saya, The Davian. Novel ini sebenernya belum saya kitimkan ke penerbit, sudah kira-kira hampir dua tahun saya tulis, edit, revisi, dan mengalami banyak pembaruan agat lebih baik. Walau sudah selesai, masih rasanya ada beberapa yang ingin terus diperbaiki. Novel kali ini jauh-jauh dari yang namanya fantasi, keajaiban, sihit-sihir dan mahluk-mahluk gak jelas lainnya. Ini adalah novel yang membahas mengenai masalah sosial yang sedang terjadi. Well meskipun masih berseting pada abad pertengahan, dengan kehidupan ala lady dan gentlemant. Oh... saya suka sekali dengan seting di jaman Victorian, klasik-klasik gitu, dan romantis.... hahaha....
Oh ya, untuk nama-nama tempatnya sendiri gak ada hubungannya sama nama tempat di inggris atau negara2 eropa. coz nama-nama tempatnya adalah karangan sendiri. Jujur saja, ide cerita ini sudah muncul di kepala lebih dari 5 tahun lalu. Hanya saja baru saya mulai tulis ketika ada event 30 hari tulis novel di Grup IWU. saya berhasil menyelesaikannya, hanya saja terlalu lama menunggu jd sy tarik. berawal tebal 80 halaman, menjadi lebih dari 200 halaman. hehehe.....
Yea, di sini saya masih menggunakan kelas sosial di negara inggris, dan eropa. Beberapa waktu lalu saya sharing mengenai kelas sosial ini, apakah perlu dirubah dg istilah-istilah berbeda saya sendiri atau menggunakan kelas sosial yang ini saja? Saya bertanya mengenai ini ke mas Putra Alam, ternyata dia bilang untuk saya merubahnya total dengan istilah-istilah saya sendri. BAru sebagian yang saya rubah, sebagian lagi belum menemukan yang tepat. memikirkan kelas-kelas ini, sulit banget coz larinya ke sistim pemerintahan. Selain itu, ini adalah bab pertama, bab yang paling susah menurut para penulis. termasuk penulis pemula seperti saya. entah suah berapa kali bab pertama ini mengalami perubahan, revisi, bahkan besar-besaran karena satu bab diganti seluruhnya/ Dan inilah hasilnya, semoga kalian semua suka :)

okey.... cukup segitu dulu pengalaman menulis novel The Davian ini. Selamat membaca, dan akan sangat menggembirakan jika pembaca bisa meninggalkan komentar maupun kritik membangun untuk saya..... Thanks :)


The Davian Book 1
By: Olief Lave, ak. Kholifah Fitrianingsih

Bab 1: Teror Masa Lalu
Senja ketika matahari telah hampir habis waktu menyinari Kota Grover 10 Agustus 1804. Semburat jingga bercampur awan kelabu yang semakin membuat langit kelam. Selain cuaca senja itu memang mendung. Burung-burung berlomba-lomba diatas langit, terbang ke sarang mereka di dahan-dahan pohon di hutan yang tidak jauh dari kota. Seorang gadis bergaun putih cerah, dan baru. Gaun putih berlangan panjang ketat dengan renda-renda di ujung, gaun yang benar-benar dipenuhi renda-renda dan payet. Baru ... gaun itu benar-benar baru dibeli dari toko langganannya The Oscar’s, toko gaun terbesar yang terletak diantara deretan toko di jalan Alexander. Toko gaun paling terkenal dan terbaik di Grover. Pengunjungnyapun kebanyakan dari kalangan atas, dan beberapa kalangan menengah. Gaun yang tampak sangat cantik dikenakan gadis cantik berambut cokelat ikal yang digelung dan diberi jepit kupu-kupu dari emas dan bebatuan murni. Bukan semua barang-barang mewah dan bermerek yang membuatnya tampak istimewa tapi, ia yang membuat benda yang dikenakannya tampak istimewa.
                Seperti berlari untuk jarak yang jauh, sangat lama, sangat lambat. Orang-orang yang seperti siluet abu-abu, hitam dan putih sedang berkerumun diantara sesosok tubuh berlumur cairan pekat merah berbau anyir. Tiba-tiba semua menjadi gelap ... gelap dan semakin gelap, meniadakan kerumunan orang itu, hanya ada si gadis cantik dan sosok tubuh pria yang darahnya menggenang di trotoar yang tersusun dari batu-batu kelabu. Dengan langkah berat ia mendekati pria itu. Pria dengan rambut merah gondrong yang rambutnya hampir menutupi seluruh wajahnya, bibirnya bergetar karena hendak menyampaikan sesuatu.
                “F ... Frea....” Ucapnya gemetar.
                “Dre ... apa yang....?”
                “Me ... mendekatlah ... Elenore F ... Frea Se ... Seab ... lert.”
                Gadis cantik, lebih tepatnya seorang Lady yang bernama Elenore Frea Seablert segera berjongkok berusaha tegar meski bulir bening bagai keran rusak yang terus mengalir. Kepala pria yang bernama Dre Albern, yang sedang sekarat itu kini berada di pangkuannya. Gaun putih berenda tidak lagi putih, bercak merah hampir di seluruh gaun. Ia memeluk Dre dengan isak, meski berusaha tegar.
                “Tolong ... siapa saja, panggil dokter!” Teriaknya dengan wajah memelas kepada orang yang mengerumuni mereka. Semua diam, tidak ada yang kelihatannya akan berlari memanggil dokter. Ia melirik ke arah sosok wanita tua berusia lebih dari separuh abad, meski masih terlihat segar. Sosok yang sedari tadi shok, “Margharet! Margharet! Panggil dokter!”
                “Baik, Nona.” Ia baru tersadar setelah mendengar teriakan majikannya. Langsung saja wanita tua itu menerobos kerumunan orang untuk mencari dokter.
                “Apa yang terjadi?”
                “Hanya hal kecil, ya kan?”
                “Kau bilang hal kecil? Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?”
                “Pertanyaanmu terlalu ba ... nyak, seperti Tn. Seab ... lert,” dia terkekeh berusaha tertawa padahal darah kental keluar dari mulutnya.
                “Kau pikir ini lucu? Dre....”
                “ha ... nya lubang kecil, per ... cayalah....”
                “Kau tertembak kan? Siapa yang melakukan?”
                “F ... Frea ... kita p ... pulang, disini d ... dingin,” mohonnya menghiraukan pertanyaan kekasihnya.
                Dre menggigil hebat, mulut dan badanya bergetar. Frea sangat ketakutan, ia belum pernah melihat orang meninggal sekalipun, tapi yang ia yakini dan takuti adalah kalau pria yang ada di pelukannya itu akan meninggal. Air mata semakin banyak menetes. Frea semakin erat memeluk Dre yang sudah tidak bersuara, kepalanya ia tenggelamkan bersama tubuh kekasihnya. Ia menangis, berteriak sejadinya. Waktu berhenti, runtuh diatas kakinya.
                “Dre ... jangan mati! Dre, jangan mati!” Teriaknya berulang-ulang.
                Gelagapan seperti orang hampir tenggelam di danau yang hampir membeku pada musim dingin. Ia tersadar, terbangun, terduduk diatas kasur empuk berseprai putih dengan motif mawar merah, senada dengan kelambu yang terikat ditiang ranjang berkanopi yang bercat putih itu. Beberapa saat kemudian ia sadar kalau semua itu mimpi, mimpi yang terus terulang selama beberapa tahun terakhir. Frea memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajah putih pucat yang dibasahi keringat dan air mata itu diantara kedua lutut yang terbalut gaun tidur putih mengkilat.
                Bermenit-menit ia menangis, hanya suara isak yang hampir tidak terdengar karena berusaha diredam agar hanya ia yang tahu bahwa malam ini ada yang menangis dikeluarganya. Puluhan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, puluhan makian yang menyalahkan dirinya. Meski sudah jelas bahwa tidak ada yang perlu disalahkan untuk mimpi-mimpi buruk yang selama hampir empat tahun mengusik tidurnya, mimpi yang berawal dari nyata.
                Ia mengangkat wajah, menghapus peluh dan air mata serta menyingkirkan sebagian rambut coklat yang menutupi wajah yang sudah sebagian basah. Beranjak dari ranjang kanopinya yang mewah, menuju deretan jendela kaca yang gordennya terbuka, tepat dihadapannya. Memandang hampa ke dataran rumput luas yang dibingkai hutan pinus sejauh mata memandang. Ia membuka pintu kaca ditengah-tengah deretan jendela kaca lebar itu. Berdiri di ujung balkon berpagar semen bercat putih setinggi pinggangnya. Angin dinihari menerbangkan rambutnya kebelakang punggung. Beberapa tahun lalu, ia pernah hampir melompat kebawah. Peristiwa yang sangat menghebohkan keluarga. Peristiwa bodoh yang disesali. Bulir-bulir air mata menetes dan kali ini ia biarkan, serta suara tangis yang tidak ia tahan.
                Kedua tangannya terkatup di dada, bibirnya gemetar. Ia berpikir entah sampai kapan ini kan berakhir? Entah sampai kapan ia bisa mulai melanjutkan hidupnya, melupakan masa lalu. Meski Ayahnya berkata bahwa hanya waktu yang akan bisa menjawab semua itu. Tapi, ini sudah cukup lama ... sudah terlalu lama bahkan untuknya larut dalam masa lalu yang tak bisa diubah, tidak bisa dilupakan.
“Semua itu tidak akan pernah bisa di lupakan ya kan? Bahkan meski ketika aku terlelap,” ucapnya hampir berbisik.
Padahal belasan jam sebelum peristiwa malang yang menimpa kisah cinta tragis mereka, keduanya tampak bersemangat dan optimis dengan masa depan mereka. Paginya tidak ada hal ganjil ketika mereka bertemu di taman depan puri. Dre yang percaya diri dan optimis kalau secepatnya dia akan mendapat pekerjaan agar Verrel bisa merestui hubungan mereka. Bagi keduanya, tidak ada yang bisa menghalangi dan segala rintangan akan dapat mereka lalui bersama. Akan terapi, mereka bahkan tidak bisa menghabiskan waktu bersama hingga melewati matahari terbenam.
Sungguh Dre yang malang, bukan pekerjaan yang didapat justru peluru yang menembus dada dan bersarang tepat di jantung setelah beberapa orang meneriakinya ‘Pencuri’. Dre Albern tewas tepat di depan bank milik Louge bersaudara, Leonard dan Ian. Suatu yang sangat kebetulan karena tiga bulan lalu, Ian Louge mengajukan pinangan pada Frea. Pinangan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Frea.
Sebuah perjalanan konyol mengarungi belahan dunia untuk menemukan arti kebebasan. Perjalanan yang berawal dari pelarian diri Evita, sahabat Frea. Perjalanan konyol karena setelah melarikan diri separuh belahan bumi untuk menolak Danish, pria yang dijodohkan keluarganya. Evita justru jatuh cinta setelah dua bulan melarikan diri dari Danish, jatuh cinta yang tidak masuk akal, jatuh cinta karena Danish merelakannya, perjalanan sia-sia. Tapi, tidak untuk Frea yang menemukan cinta dalam pelarian itu. Pria petualang bertampang gagah dengan penampilan sederhana, sangat tidak rapi dan jauh dari pria-pria bangsawan manapun yang pernah Frea temui. Cinta sejati, itulah kata sepasang kekasih yang sedang dinaungi payung cupid. Mereka kembali ke Grover bersambut pelukan hangat keluarga. Evita menikah dengan Danish di Swaggart, tiga hari sebelum kematian Dre Albern. Pria yang menemani dan melindungi dua lady dalam petualangan tanpa arah. Petualangan sia-sia yang tidak pernah Frea sesali sebelumnya hingga peristiwa naas itu terjadi. Sering Frea menyesali pertemuan mereka. Andai mereka tidak pernah bertemu dan Dre tidak pernah mengakhiri petualangannya, mungkinkah Dre masih hidup dan berada di salah satu tempat di belahan dunia. Frea lebih memilih tidak pernah bertemu dengan pria yang dicintainya dari pada bertemu dan menjadi penyebab kehilangan mendalam itu.
“Dre ... kau berjanji selamanya tidak akan meninggalkanku, selamanya kita selalu bersama saling mencintai. Kenapa kau tidak menepati janjimu? Kenapa kau justru meninggalkanku dengan semua penderitaan akibat kehilanganmu, Dre.... Semua tidak adil! Kau tidak adil, Dre! Selamanya aku tidak dapat memaafkan diri, terutama memaafkanmu Dre!”
°The Davian°