Wednesday, December 25, 2013

The Davian. Chapter 1

Oke.... kali ini saya akan ngepos bab pertama dari novel solo saya, The Davian. Novel ini sebenernya belum saya kitimkan ke penerbit, sudah kira-kira hampir dua tahun saya tulis, edit, revisi, dan mengalami banyak pembaruan agat lebih baik. Walau sudah selesai, masih rasanya ada beberapa yang ingin terus diperbaiki. Novel kali ini jauh-jauh dari yang namanya fantasi, keajaiban, sihit-sihir dan mahluk-mahluk gak jelas lainnya. Ini adalah novel yang membahas mengenai masalah sosial yang sedang terjadi. Well meskipun masih berseting pada abad pertengahan, dengan kehidupan ala lady dan gentlemant. Oh... saya suka sekali dengan seting di jaman Victorian, klasik-klasik gitu, dan romantis.... hahaha....
Oh ya, untuk nama-nama tempatnya sendiri gak ada hubungannya sama nama tempat di inggris atau negara2 eropa. coz nama-nama tempatnya adalah karangan sendiri. Jujur saja, ide cerita ini sudah muncul di kepala lebih dari 5 tahun lalu. Hanya saja baru saya mulai tulis ketika ada event 30 hari tulis novel di Grup IWU. saya berhasil menyelesaikannya, hanya saja terlalu lama menunggu jd sy tarik. berawal tebal 80 halaman, menjadi lebih dari 200 halaman. hehehe.....
Yea, di sini saya masih menggunakan kelas sosial di negara inggris, dan eropa. Beberapa waktu lalu saya sharing mengenai kelas sosial ini, apakah perlu dirubah dg istilah-istilah berbeda saya sendiri atau menggunakan kelas sosial yang ini saja? Saya bertanya mengenai ini ke mas Putra Alam, ternyata dia bilang untuk saya merubahnya total dengan istilah-istilah saya sendri. BAru sebagian yang saya rubah, sebagian lagi belum menemukan yang tepat. memikirkan kelas-kelas ini, sulit banget coz larinya ke sistim pemerintahan. Selain itu, ini adalah bab pertama, bab yang paling susah menurut para penulis. termasuk penulis pemula seperti saya. entah suah berapa kali bab pertama ini mengalami perubahan, revisi, bahkan besar-besaran karena satu bab diganti seluruhnya/ Dan inilah hasilnya, semoga kalian semua suka :)

okey.... cukup segitu dulu pengalaman menulis novel The Davian ini. Selamat membaca, dan akan sangat menggembirakan jika pembaca bisa meninggalkan komentar maupun kritik membangun untuk saya..... Thanks :)


The Davian Book 1
By: Olief Lave, ak. Kholifah Fitrianingsih

Bab 1: Teror Masa Lalu
Senja ketika matahari telah hampir habis waktu menyinari Kota Grover 10 Agustus 1804. Semburat jingga bercampur awan kelabu yang semakin membuat langit kelam. Selain cuaca senja itu memang mendung. Burung-burung berlomba-lomba diatas langit, terbang ke sarang mereka di dahan-dahan pohon di hutan yang tidak jauh dari kota. Seorang gadis bergaun putih cerah, dan baru. Gaun putih berlangan panjang ketat dengan renda-renda di ujung, gaun yang benar-benar dipenuhi renda-renda dan payet. Baru ... gaun itu benar-benar baru dibeli dari toko langganannya The Oscar’s, toko gaun terbesar yang terletak diantara deretan toko di jalan Alexander. Toko gaun paling terkenal dan terbaik di Grover. Pengunjungnyapun kebanyakan dari kalangan atas, dan beberapa kalangan menengah. Gaun yang tampak sangat cantik dikenakan gadis cantik berambut cokelat ikal yang digelung dan diberi jepit kupu-kupu dari emas dan bebatuan murni. Bukan semua barang-barang mewah dan bermerek yang membuatnya tampak istimewa tapi, ia yang membuat benda yang dikenakannya tampak istimewa.
                Seperti berlari untuk jarak yang jauh, sangat lama, sangat lambat. Orang-orang yang seperti siluet abu-abu, hitam dan putih sedang berkerumun diantara sesosok tubuh berlumur cairan pekat merah berbau anyir. Tiba-tiba semua menjadi gelap ... gelap dan semakin gelap, meniadakan kerumunan orang itu, hanya ada si gadis cantik dan sosok tubuh pria yang darahnya menggenang di trotoar yang tersusun dari batu-batu kelabu. Dengan langkah berat ia mendekati pria itu. Pria dengan rambut merah gondrong yang rambutnya hampir menutupi seluruh wajahnya, bibirnya bergetar karena hendak menyampaikan sesuatu.
                “F ... Frea....” Ucapnya gemetar.
                “Dre ... apa yang....?”
                “Me ... mendekatlah ... Elenore F ... Frea Se ... Seab ... lert.”
                Gadis cantik, lebih tepatnya seorang Lady yang bernama Elenore Frea Seablert segera berjongkok berusaha tegar meski bulir bening bagai keran rusak yang terus mengalir. Kepala pria yang bernama Dre Albern, yang sedang sekarat itu kini berada di pangkuannya. Gaun putih berenda tidak lagi putih, bercak merah hampir di seluruh gaun. Ia memeluk Dre dengan isak, meski berusaha tegar.
                “Tolong ... siapa saja, panggil dokter!” Teriaknya dengan wajah memelas kepada orang yang mengerumuni mereka. Semua diam, tidak ada yang kelihatannya akan berlari memanggil dokter. Ia melirik ke arah sosok wanita tua berusia lebih dari separuh abad, meski masih terlihat segar. Sosok yang sedari tadi shok, “Margharet! Margharet! Panggil dokter!”
                “Baik, Nona.” Ia baru tersadar setelah mendengar teriakan majikannya. Langsung saja wanita tua itu menerobos kerumunan orang untuk mencari dokter.
                “Apa yang terjadi?”
                “Hanya hal kecil, ya kan?”
                “Kau bilang hal kecil? Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?”
                “Pertanyaanmu terlalu ba ... nyak, seperti Tn. Seab ... lert,” dia terkekeh berusaha tertawa padahal darah kental keluar dari mulutnya.
                “Kau pikir ini lucu? Dre....”
                “ha ... nya lubang kecil, per ... cayalah....”
                “Kau tertembak kan? Siapa yang melakukan?”
                “F ... Frea ... kita p ... pulang, disini d ... dingin,” mohonnya menghiraukan pertanyaan kekasihnya.
                Dre menggigil hebat, mulut dan badanya bergetar. Frea sangat ketakutan, ia belum pernah melihat orang meninggal sekalipun, tapi yang ia yakini dan takuti adalah kalau pria yang ada di pelukannya itu akan meninggal. Air mata semakin banyak menetes. Frea semakin erat memeluk Dre yang sudah tidak bersuara, kepalanya ia tenggelamkan bersama tubuh kekasihnya. Ia menangis, berteriak sejadinya. Waktu berhenti, runtuh diatas kakinya.
                “Dre ... jangan mati! Dre, jangan mati!” Teriaknya berulang-ulang.
                Gelagapan seperti orang hampir tenggelam di danau yang hampir membeku pada musim dingin. Ia tersadar, terbangun, terduduk diatas kasur empuk berseprai putih dengan motif mawar merah, senada dengan kelambu yang terikat ditiang ranjang berkanopi yang bercat putih itu. Beberapa saat kemudian ia sadar kalau semua itu mimpi, mimpi yang terus terulang selama beberapa tahun terakhir. Frea memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajah putih pucat yang dibasahi keringat dan air mata itu diantara kedua lutut yang terbalut gaun tidur putih mengkilat.
                Bermenit-menit ia menangis, hanya suara isak yang hampir tidak terdengar karena berusaha diredam agar hanya ia yang tahu bahwa malam ini ada yang menangis dikeluarganya. Puluhan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, puluhan makian yang menyalahkan dirinya. Meski sudah jelas bahwa tidak ada yang perlu disalahkan untuk mimpi-mimpi buruk yang selama hampir empat tahun mengusik tidurnya, mimpi yang berawal dari nyata.
                Ia mengangkat wajah, menghapus peluh dan air mata serta menyingkirkan sebagian rambut coklat yang menutupi wajah yang sudah sebagian basah. Beranjak dari ranjang kanopinya yang mewah, menuju deretan jendela kaca yang gordennya terbuka, tepat dihadapannya. Memandang hampa ke dataran rumput luas yang dibingkai hutan pinus sejauh mata memandang. Ia membuka pintu kaca ditengah-tengah deretan jendela kaca lebar itu. Berdiri di ujung balkon berpagar semen bercat putih setinggi pinggangnya. Angin dinihari menerbangkan rambutnya kebelakang punggung. Beberapa tahun lalu, ia pernah hampir melompat kebawah. Peristiwa yang sangat menghebohkan keluarga. Peristiwa bodoh yang disesali. Bulir-bulir air mata menetes dan kali ini ia biarkan, serta suara tangis yang tidak ia tahan.
                Kedua tangannya terkatup di dada, bibirnya gemetar. Ia berpikir entah sampai kapan ini kan berakhir? Entah sampai kapan ia bisa mulai melanjutkan hidupnya, melupakan masa lalu. Meski Ayahnya berkata bahwa hanya waktu yang akan bisa menjawab semua itu. Tapi, ini sudah cukup lama ... sudah terlalu lama bahkan untuknya larut dalam masa lalu yang tak bisa diubah, tidak bisa dilupakan.
“Semua itu tidak akan pernah bisa di lupakan ya kan? Bahkan meski ketika aku terlelap,” ucapnya hampir berbisik.
Padahal belasan jam sebelum peristiwa malang yang menimpa kisah cinta tragis mereka, keduanya tampak bersemangat dan optimis dengan masa depan mereka. Paginya tidak ada hal ganjil ketika mereka bertemu di taman depan puri. Dre yang percaya diri dan optimis kalau secepatnya dia akan mendapat pekerjaan agar Verrel bisa merestui hubungan mereka. Bagi keduanya, tidak ada yang bisa menghalangi dan segala rintangan akan dapat mereka lalui bersama. Akan terapi, mereka bahkan tidak bisa menghabiskan waktu bersama hingga melewati matahari terbenam.
Sungguh Dre yang malang, bukan pekerjaan yang didapat justru peluru yang menembus dada dan bersarang tepat di jantung setelah beberapa orang meneriakinya ‘Pencuri’. Dre Albern tewas tepat di depan bank milik Louge bersaudara, Leonard dan Ian. Suatu yang sangat kebetulan karena tiga bulan lalu, Ian Louge mengajukan pinangan pada Frea. Pinangan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Frea.
Sebuah perjalanan konyol mengarungi belahan dunia untuk menemukan arti kebebasan. Perjalanan yang berawal dari pelarian diri Evita, sahabat Frea. Perjalanan konyol karena setelah melarikan diri separuh belahan bumi untuk menolak Danish, pria yang dijodohkan keluarganya. Evita justru jatuh cinta setelah dua bulan melarikan diri dari Danish, jatuh cinta yang tidak masuk akal, jatuh cinta karena Danish merelakannya, perjalanan sia-sia. Tapi, tidak untuk Frea yang menemukan cinta dalam pelarian itu. Pria petualang bertampang gagah dengan penampilan sederhana, sangat tidak rapi dan jauh dari pria-pria bangsawan manapun yang pernah Frea temui. Cinta sejati, itulah kata sepasang kekasih yang sedang dinaungi payung cupid. Mereka kembali ke Grover bersambut pelukan hangat keluarga. Evita menikah dengan Danish di Swaggart, tiga hari sebelum kematian Dre Albern. Pria yang menemani dan melindungi dua lady dalam petualangan tanpa arah. Petualangan sia-sia yang tidak pernah Frea sesali sebelumnya hingga peristiwa naas itu terjadi. Sering Frea menyesali pertemuan mereka. Andai mereka tidak pernah bertemu dan Dre tidak pernah mengakhiri petualangannya, mungkinkah Dre masih hidup dan berada di salah satu tempat di belahan dunia. Frea lebih memilih tidak pernah bertemu dengan pria yang dicintainya dari pada bertemu dan menjadi penyebab kehilangan mendalam itu.
“Dre ... kau berjanji selamanya tidak akan meninggalkanku, selamanya kita selalu bersama saling mencintai. Kenapa kau tidak menepati janjimu? Kenapa kau justru meninggalkanku dengan semua penderitaan akibat kehilanganmu, Dre.... Semua tidak adil! Kau tidak adil, Dre! Selamanya aku tidak dapat memaafkan diri, terutama memaafkanmu Dre!”
°The Davian°

                

No comments:

Post a Comment