Wednesday, October 10, 2012

Popay untuk Olief

POPAY UNTUK OLIEF
Oleh: Kholifah Fitrianingsih/ Olief Lave .
http://facebook.com/olief.lave


Episode II: A Different Life

“Lavender… buka pintu!! Lave!!”
Terdengar teriakan seorang wanita disertai gedoran pintu, kulirik jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul tiga subuh. Tante, kapan ia akan kembali seperti dulu sebelum suaminya pergi bersama mantan pacar dengan kabur membawa semua kekayaan warisan kakek.
Bergegas kubuka pintu, tante Imelda mabuk seperti biasanya. Dengan di bopong tante Sandra, sahabat yang telah menjerumuskan ia kedunia malam.
“Lama sekali!! Kau tuli ya?!” bentaknya.
Aku hanya diam, sambil menatap dengan tatapan tidak suka. Percuma jika kali ini aku menjawab perkataan orang yang sedang mabuk, hanya akan memicu keributan yang kan membangunkan para tetangga yang kemudian datang kerumah kontrakan kami yang kecil.
“Oke cin, besok gwe jemput lagi”
“Bubay Sandra…” sambil berpelukan dan cipika-cipiki
Tangan tante Imelda melambai mengantar kepergian sahabat karibnya, setelah itu pintu ditutup. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju kamar, sesekali hampir tersungkur diatas lantai karena tubuh dan jiwanya sudah tak selaras lagi. walau aku melihat tapi tak ku bantu ia menuju kamarnya -Sedih- aku sedih melihatnya setiap hari seperti itu. Diusia yang sudah tak muda lagi, 33 tahun. Hanya ia satu-satunya keluarga yang kumiliki.
Tempat tidur, akhirnya ia sampai diatas tempat tidur. Ia jatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia tertawa dan mengoceh tak jelas persis orang sinting. Bahkan pintu kamarnya tak sempat ia tutup. Setelah kelelahan, barulah ia tertidur –hening- akhirnya.
Aku masuk kedalam kamar tante untuk menyelimuti tubuhnya yang memakai pakaian super mini yang tak sempat ia ganti tadi.
-Popay untuk Olief-
Pukul sembilan pagi, aku sudah bersiap untuk berangkat kuliah namun kulihat tante Imelda belum juga keluar dari kamar. Ku buka pintu kamarnya, seorang wanita bertubuh tinggi, langsing itu masih terlelap diatas tempat tidur. Rambut panjang bergelombang yang ia warnai dengan warna coklat itu terlihat berantakan dan menutupi wajah cantiknya.
Aku berjalan mendekat menuju tempat ia terbaring, ku panggil-panggil namanya berkali-kali namun ia tak juga bangun.
“Tante, tante Imelda… bangun” sambil kugerak-gerakan tubuhnya.
“heemmm…” ia bergumam
“Bangun, sudah jam sembilan”
“Brisik, gwe masih ngantuk!!”
“Tante, tolonglah… ada yang mau ku bicarakan”
“Apa? Kalo lu butuh uang ambil sendiri di tas gwe”
‘Bukan, bukan itu tante…”
“lalu apa?” nada suaranya meninggi
“Sampai kapan tante seperti ini?”
“Seperti ini bagaimana?” ia pun mulai bangkit untuk duduk
“Lave rasa tante sudah mengerti apa maksudku?” tante Imelda hanya terdiam. “Sampai kapan tante? Berangkat petang, pulang pagi dengan keadaan mabuk terkadang tante tak pulang dan ketika pulang diantar oleh pria hidung belang”
“DIAMM!! LU ANAK KECIL TAU APA?”
“Lave sayang sama tante, hanya tante yang Lave punya… tidakkah tante tau itu?”
“INI DEMI KITA, DEMI KEHIDUPAN KITA!! DEMI LU JUGA LAVE!!”
“Apa? Demi Lave? Demi kita? Bukan, tapi ini kebodohan tante sendiri yang tak mau menerima kenyataan hidup. Oom memang telah mengecewakan tante, melukai hati dan merampas smua kekayaan peninggalan kakek, tapi seharusnya tante bangkit dan melanjutkan hidup!”
“LU GA AKAN MENGERTI LAVE!! LU GA AKAN NGERTI!! DAN GA ADA SEORANGPUN YANG MENGERTI LUKA HATI GWE SELAIN GWE” air matanyapun menetes
“Lave memang tak mengerti tante, tapi lave mohon tante”
“kalau gwe berenti, bagaimana kita bisa hidup?”
“kita cari cara lain, cari pekerjaan lain tante!”
“PEKERJAAN LAIN? PEKERJAAN APA LAVE?”
“Apa saja tante, yang penting halal”
“Lu pikir mudah cari kerja?”
“Andai tante dulu tak berfoya-foya dengan tabungan peninggalan Ayah, kita bisa hidup layak walau sederhana tante”
“Jadi lu ga ikhlas? Ga tau diri lu! Dah gwe besarin juga”
“Cape ngobrol sama tante!” kemudian aku pergi meninggalkannya.
Terdengar suara umpatannya menyertai kepergianku. Dengan berlinang air mata aku berjalan menuju halte bis yang berjarak limaratus meter dari rumah.
-Popay untuk Olief-

Pertengkaranku dengan tante tadi sungguh terasa seperti sebuah kaset vidio yang terus diulang-ulang dalam otak dan ingatanku. Tante, dia bilang aku tak akan pernah mengerti perasaannya. Dia pikir aku tak sedih ketika kehilangan Ayah dan Bunda dalam kecelakaan mobil ketika kami harus pindah dari Anyer ke Jakarta untuk menyelamatkan usaha kakek yang hampir bangkrut, hanya aku yang selamat dalam kecelakaan itu. Kemudian diasuh oleh seorang tante yang setengah gila. Ketika itu usiaku baru sembilan tahun, dan sungguh aku terkejut bukan main ketika melihat keadaan tante Imelda yang kusayangi dulu, tiba-tiba berubah seperti itu.
Beruntung aku masih bisa sekolah, berkat tabungan pendidikan yang Ayah dan bunda sediakan untukku hingga aku bisa terus sekolah. Barangkali firasat orang tua pada anaknya kelak
Sepanjang perjalanan diatas bis aku terus berpikir, tiba-tiba teringat pada Popay. Aku jadi kangen sama dia, seperti apa ia sekarang? Ku genggam kalung yang menggantung dileherku.
-Popay untuk Olief-
Direrimbunan pohon bakau ia telah menungguku, Seorang anak lelaki kelas enam SD. Menatap deru ombak pantai sambil memegang sebuah kotak berwarna lavender. Ku datangi ia pelan-pelan untuk mengejutkannya dari belakang, namun tak berhasil karena kakiku menginjak sebatang ranting kering hingga menyadarkannya akan kehadiranku.
“Olief…” katanya tanpa melirik kebelakang
“Yaahh… ga berhasil deh ngagetin kamu”
Perlahan Popay menengok kebelakang, “Bodoh!! aku sudah tau ada kamu disitu dari tadi”
“hehehe” aku tertawa dengan memperlihatkan gigiku yang sebagian ompong karena tanggal.
“Senyummu jelek sekali!!”
“Kamu sendiri memangnya tidak jelek?” kemudian aku pun duduk disampingnya.
“Aku punya susuatu untukmu” sambil menyodorkan kotak berwarna lavender yang tadi kulihat.
“Kado ulang tahunku ya? Kenapa tidak diberikan tadi?”
“Aku… malu… dengan ayah dan bunda”
“Malu? Ternyata punya malu juga?” ledekku.
“Berisik ya? Mau tidak?”
“Ya mau dong, sini!! Ku buka sekarang ya?”
Didalam kotak warna lavender itu, kulihat sebuah kalung perak dengan liontin lumba-lumba, aku jadi terharu dan tak dapat berkata-kata.
“Kenapa diam? Tidak suka?”
“Suka, suka sekali” Tiba-tiba air mataku menetes.
“Kalau suka, kenapa menangis?”
“Ini namanya terharu Syam, thanks” kemudian aku pun berdiri sambil menjauhinya “Beri tahu ayah dan bunda ahh… AYAH… BUNDA…” teriakku sambil berlari menjauhi Syam
“OLIEF… AWAS YA” Syam mengejarku dari belakang
“Lihat, apa yang diberikan Syam untuk hadiah ulang tahunku…”
-Popay untuk Olief-
Ada apa denganku? Mengapa tiba-tiba terkenang masa itu? Aku kan sudah punya pacar yang sangat perhatian dan sayang aku.
Tiba-tiba kernet meneriakkan tempat pemberhentianku, aku langsung bergegas turun sebelum bis jalan kembali.
-Popay untuk Olif-

Ditangga kampus aku duduk sambil menunggu jam kuliah yang baru akan di mulai lima belas menit lagi.
“mata kamu bengkak, kenapa?” Tiba-tiba Ardi muncul dari belakang sambil mengamati dan menatap tajam mataku, “Habis nangis ya, Say?”
“emmh… engga ko sayang, im okey!”
“kamu mana bisa si bohongi aku say, ketika kamu bilang im okey pasti itu adalah sebaliknya”
Aku hanya tersenyum, senyuman yang setengah kupaksakan.
“Ada apa? Cerita dong, say?”
Kemudian aku menceritakan semua kejadiannya pada Ardi, dia hanya memintaku untuk dapat bersabar. Sambil membelai rambutku yang panjang.
“Ardi, aku masuk kelas dulu”
“Oke, aku juga masih ada kelas. Pulang nanti, kuantar kamu ketempat kerja ya”
“Okey”
Aku dan Ardi memang satu fakultas. Kami mengambil jurusan Sastra Indonesia. Aku baru semester dua, sedangkan Ardi sudah semester enam. Sepulang kuliah, aku bekerja paruh waktu di kafe milik tante Ernes mamanya Ardi sampai pukul sembilan malam. Tante Ernes sangat baik, ardi pun ikut membantu di kafe itu.
-Popay untuk Olief-
jalan raya Jakarta yang selalu ramai... Kendaraan berjalan lambat, dari kejauhan ku lihat seorang ibu penjual kue berdiri dipinggir trotoar dengan menjinjing keranjang dagangannya.
"Ardi, bisa berhenti sebentar di ibu penjual kue itu?"
"kamu kenal sama dia?"
"pleas... Berenti sebentar ya!"
"iya nyonya... Hehehe..."ledek Ardi
"nah gitu dong, pak supir harus nurut"kataku sambil tertawa kecil.
Mobil perlahan melambat dan berhenti, ku buka kaca mobil. Ibu tua itu tersenyum melihatku, kemudian berkata "kue nya neng?"
"kue apa bu?"
"pisang goreng, keroket, sama tahu isi"
"aku mau sepuluh ya bu, dicampur saja.. Pake rawit ya bu"
"yaah... Ternyata mau jajan!!"
"hehehe..."
"kita kan mau makan, kenapa jadi jajan dulu?"
"tenang saja, perutku masih cukup ko"
"ini neng kuenya!"
"berapa bu?"tanyaku sambil mengambil kue yg telah dimasukkan dalam pelastik
"sepuluh ribu"
aku mengeluarkan uang pas dari dompet untuk membayarnya.
"terimaksih, bu..."
"sama-sama neng"
tiba2 dua orang pemuda menghampiri Ibu penjual kue dari belakang.
"heh, ibu tua! Enak bener lu jualan di sini!!" sentak seorang pemuda bertubuh kekar, bertampang sangar yang umurnya beberapa tahun lebih tua dariku.
Sedangkan yang seorang lagi hanya diam menatap dengan tatapan dingin dan tak berperasaan, dia mengambil sepotong pisang goreng dari keranjang dagangan kemudian menggigit dan melepehkannya.
Ibu penjual kue menunduk ketakutan, tubuhnya bergetar. dari mulutnya keluar sebuah kata, lirih. "maaf..."
"apa lu bilang?" sentak pria bertubuh kekar itu
"maaf... Hah?"tambah pria bertatapan dingin itu.
"lu pikir maaf bisa bikin kenyang? BAYAR WOY!! GA ADA YANG GRATIS!!" teriaknya tepat ditelinga Ibu penjual kue.
Aku sungguh tak tahan melihat penindasan itu tepat didepanku.
"Ardi!!" panggilku sambil melirik kearah Ardi sebagai kode 'tolong, bantu Ibu itu'
tapi Ardi membalasnya dengan menggelengkan kepala. ku panggil lagi ia untuk yg kedua kalinya, tapi ia justru berkata
"sebaiknya kita pergi dan ga usah ikut campur!!"
aku sungguh kesal dan langsung turun dari mobil. Ardi berusaha menarik lenganku agar tidak turun.
"Lave!!"teriaknya.
Aku berdiri didepan Ibu penjual kue yg sedang ketakutan. Ku tatap dua orang preman itu dengan tatapan tajam.
"kalian itu laki2 atau bukan? Beraninya sama orang tua!"
"heh, ga usah ikut campur lu!!"
"kalian bilang, harus bayar? Memangnya jalanan ini milik kalian?"
"Ini daerah kekuasaan kami!"
"ini jalanan umum!seenaknya kalian menindas yang lemah! Kalau para pemudanya seperti kalian, mau jadi apa negara ini"
"Lu cantik, tapi bawel! ga usah ceramahi kami!!"kata pemuda bertatapan dingin itu tanpa ekspresi.
pria bertampang sangar itu hendak melayangkan pukulannya kearahku, namun Ardi berhasil menahan pukulan. Aku sama sekali tak gentar!!
"Heh, berani lu mau mukul cewe gw? Pengecut!! Beraninya cuma sama perempuan dan orang tua"
"Lu ngajak ribut?"tantang pria bertatapan dingin
"silahkan kalau kalian mau ribut dijalanan umum dan dilihat banyak orang!! Dan kalian bisa lihat sendiri di ujung sana ada Polisi"
beberapa pengguna jalan sudah mulai memperhatikan kami. Beberapa dari mereka mendatangi kami.
"Awas lu ya!! Lu beruntung kali ini" kata pria bertampang sangar dengan nada ancaman sebelum pergi meninggalkan kami.
Aku terus menatap tajam mereka yg mulai menjauh, tiba2 pria dengan tatapan dingin itu menengok kearahku. Matanya... Sepertinya aku kenal dengan mata itu.
-Popay untuk Olief-
didalam mobil, Ardi mendiamkanku. Tak sepatah katapun terucap dari mulutnya.
"sayang, coba deh! Gorengannya enak loh" kataku berusaha memecah kesunyian.
"Lave, berapa lama kamu tinggal di kota ini? Kamu tau kan kalau yang barusan itu berbahaya?"
"Aku tau, tapi aku ga tahan melihat penindasan didepan mataku"
"beruntung, mereka segera pergi melihat orang2 yg segera berdatangan"
"iya, aku minta maaf"
"aku khawatir mereka dendam dan akan menyakitimu"
"aku akan baik-baik saja Ardi, selama ada kamu! karena kamu akan slalu menjagaku"
"kamu tuh ya! Slalu bisa bikin aku ga jadi marah"
aku tersenym sambil tertawa kecil...
"eh, cobain deh gorengannya! Gede2 dan enak pula, ayo... Buka mulutnya anak pinter!"
-Popay untuk Olief-

Bersambung....

No comments:

Post a Comment