Olief Lave
Thursday, March 24, 2016
Friday, March 18, 2016
Puzzle (1)
Novel ini ku dedikasikan untuk semua wanita yang sedang berjuang melawan sakitnya agar tetap semangat berjuang untuk tetap hidup dan sembuh.
The Puzzle
A Novel Writting By: Olief Lave
What's Wrong
Gelap....
Gelap sekali....
Udara sangat lembab, aku bisa
menciumnya... tubuhku nyeri dan lelah.
Aku ingin istirahat, namun seseorang menarik tanganku, dan menyampirkannya di
bahu, dia memapahku. Suara seorang pria memberitahu agar kami berlari, nadanya
panik dan mendesak. Rasa takut menjalari tubuhku, tapi aku berdiri juga,
menuruti ucapannya. kami harus berlari menyelamatkan diri, entah dari apa. kami
berlari melewati semak-semak , tanpa tujuan. Dia tak pernah melepaskanku meski
kakiku yang berdarah dan sakit harus ku sered dan tentu itu menghambatnya.
“Pergi! Tinggalkan saja aku dan
selamatkan dirimu. Aku hanya menghambatmu.”
“Tidak, Eva!” ucapnya mantap,
sama sekali tak berniat melepaskanku.
“Tinggalkan aku! Kau harus
selamat.”
“Tidak, kau yang terpenting
untukku.” Jelas dari suara napasnya yang berat, dia sudah sangat kelelahan.
“Ayo kesini!” Dia menarikku ke
balik semak-semak tinggi.
Ketika berjongkok untuk
bersembunyi, baru ku rasakan jika mungkin tulang kakiku ada yang retak, aku
menutup mulutku kuat-kuat agar tak bersuara. Dia memelukku, sementara matanya
memerhatikan ke balik semak. Kami bisa mendengar derap langkah mendekat,
sebelum terlihat tiga orang pria berbadan kekar dengan balok-balok kayu di
tangan mereka.
Seseorang yang berbadan paling
kekar dan tinggi, dengan kepala botak yang mengkilap terkena cahaya bulan dari
sela-sela dedaunan, menatap tajam ke tempat kami bersembunyi. Tiba-tiba seseorang meraih
tanganku, menarikku ke dekapannya dengan kasar. Aku berteriak, meronta,
memukulnya sekuat tenaga, menendangnya.
“Hei ... hei... apa yang terjadi?
Eva .... Sayang.... aw...” dia jelas kesakitan.
Aku bingung, aku mengerjapkan
mata dan segalanya tidak gelap lagi, tapi cukup terang, hampir senja. Matahari
sudah berada dekat garis cakrawala. Hampir tenggelam dalam lautan yang airnya
berkilauan. Sementara aku mencium bau garam dari angin yang berhembus dari arah
samudra atlantik yang tepat berada di seberang jalan. Bukan bau lembab hutan
seperti yang ku alami tadi.
Ketika ku angkat wajahku, aku
mengenali pria yang memelukku ini. Dia suamiku,William.
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah ... aku baru pulang kerja,” dia menunjuk mobil
Ford GT biru nya yang masih terparkir di halaman. Mobil yang sangat mencolok
ketika melaju di jalan raya. “Kemudian melihatmu lari, menyered-nyered kaki, bersembunyi
di balik semak. Ada apa?”
“Ada tiga orang yang mengejarku,
aku berlari dan bersembunyi....”
“Dimana mereka?” Tanya Will.
“Entahlah...”
“Diana....” teriaknya, “Diana...”
Panggilnya lagi.
Tak begitu lama, aku melihat
Diana berlari menghampiri. Diana adalah kepala pelayan kami.
“Apa yang terjadi? Apa ada
orang-orang yang mengejar Nyonya?”
“Orang- orang?”
“Ya, Nyonya bilang ada
orang-orang yang mengejarnya.”
“Tidak ada siapapu, Tuan.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak tahu, tapi tadi Nyonya
memecahkan teko kemudian dia berlari keluar....”
“Sudah ... kau boleh pergi.”
William terlihat panik.
“Permisi, Tuan, Nyonya.”
“Apa aku berhalusinasi?” Will
tidak menjawab, dia menatap cemas, “Aku tidak gila kan? Tiba-tiba aku berada di
hutan, tiga orang mengejarku dan disana gelap sekali....”
“Eva ... Eva ...” panggilnya,
menghentikan ceritaku, “Tidak, kau tidak gila. Kau pasti hanya kelelahan,
melamun kemudian berhalusinasi.”
Aku berusaha mengingat bagaimana
itu bisa terjadi. Aku ingat tadi sedang mengisi air untuk ku masukkan dalam lemari
es. Kemudian semua terjadi, dan telapak kakiku terasa perih. Mungkin ini hanya
kebetulan.
“Ayo, kita masuk.” Will
memelukku.
Aku berjalan di sampingnya,
berusaha menyembunyikan kakiku yang sakit.
“Ada apa dengan kakimu?”
“Aku tidak tahu.”
“Sini....” Will sudah meraih
tanganku dan menggendongku di pelukannya.
“Turunkan aku ... mereka nanti
melihat kita.”
“Biarkan saja, Eva.”
Pipiku bersemu merah, panas
rasanya. Kemudian melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Kami memasuki rumah
kami yang bergaya minimalis. Rumah dua lantai yang besar, dengan cat putih dan
jendela-jendela lebar. Ketika melewati dapur, aku melihat beberapa pelayan
sibuk memasak makan malam dan seorang sedang mengepel lantai, membersihkan
pecahan teko kaca. Baru dua minggu lebih kami pindah ke sini. Sebelumnya kami
tinggal di sebuah condominium yang sangat dekat dengan rumah sakit di Queens.
Hanya saja, aku kurang begitu nyaman tinggal di Queens. Di sana sangat ramai,
dan aku butuh tempat yang lebih damai.
“I love you.” Bisik Will di
telingaku.
"I Love you, too,” jawabku singkat sebelum
Will mengecup pipiku mesra, kemudian beralih ke bibirku. Aku membalas
ciumannya.
William mendudukkanku di atas sofa
kulit hitam di ruang keluarga, dia masih menciumku. Beberapa detik kemudian dia
berhenti, tersenyum karena teringat sesuatu yang sempat terlupakan. Sekali lagi
dia mengamati ekspresiku penuh khawatir. Aku melepaskan pelukanku, merasa malu.
William beranjak, mengambil kotak obat di laci meja tv. Beberapa detik kemudian
dia sudah duduk di sampingku.
“Biar ku lihat kakimu,” dia
membuka sandalku yang tipis.
Di alas sandal kaki kananku
menempel darah yang lumayan banyak dan lengket ke kulitku. Sepertinya ketika
teko itu pecah, ada serpihan kaca yang terpental ke sandalku dan terinjak. Aku
merasa perih di sekitar lengkungan telapak kaki kananku.
“Apa perlu di jahit?” tanyaku
ngeri.
“Aku harus membersihkannya dulu,
jangan sampai ada pecahan yang tertancap. Akan terasa sedikit sakit.” William
mengambil kapas dan cairan antiseptik dari kotak obat.
Aku tersenyum, memutar bola
mataku, meremehkan. Dia mulai membersihkan kulit di sekitar lukaku. Kemudian
mengambil penjepit untuk menarik
serpihan kaca yang tertancap. Darah kembali keluar, rasanya perih ketika menyentuh
kapas. Tapi, jujur saja ini tidak ada apa-apanya. Beberapa kali masuk ruang
operasi, luka sekecil ini tidak ada apa-apanya, namun tetap saja aku reflek
menarik kaki dan meringis.
“Tahan sebentar,” ucapnya sedih.
“Tenang saja, ini kan luka
kecil.” Aku tersenyum.
“Benar, hanya luka kecil.” Dia
sudah selesai membersihkan lukaku, kemudian mengambil plester dan menempelkannya
di lukaku.
“Ada yang lebih menghawatirkan,
ya kan?” tanyaku tidak yakin.
“Apa itu?”
Ku tatap matanya, wajahnya tampan
meski kami terpaut usia sepuluh tahun. Tentu saja, bukan hanya ketampanan tapi
aura kematangan serta kemapanan finansial tampak jelas dalam dirinya. Pasti
banyak wanita yang menggodanya di luar sana. Terutama dengan mobil yang di
gunakannya berkendara itu, terlalu mencolok. Tapi, bagi seorang pria ... mobil
adalah gaya hidup, seperti sebuah pencapaian dalam kemapanan. Padahal tanpa ini
semuapun, aku sudah jatuh cinta. Dia memiliki kebaikan seorang malaikat.
Aku memeriksa ekspresi William.
Ku belai rambut coklat yang terpotong rapi itu, tekstur halusnya terasa nyaman
di telapak tanganku, “Tadi itu ... aku tidak mengerti apa yang sebenarnya
terjadi padaku. Aku berhalusinasi? Itu pertanda buruk. Katakan saja, kau kan
seorang dokter.”
“Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, kau baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan, entah apa yang
sudah kau lakukan hari ini?” Dia berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak kelelahan.”
“Oh, tentu saja. Menanam bunga
seharian di cuaca panas seperti itu, tidak melelahkan.” Dia menggodaku.
“Kau tahu dari mana?”
“Aku menelepon siang tadi, Diana
yang mengangkatnya. Dia bilang kau sedang di halaman menanam bibit bunga yang
tadi pagi kau beli.”
“Jadi kau memata-mataiku?”
“Tidak...” Will tampak panik,
“Aku hanya mengecek istriku, kau kan mudah sakit.” Godanya.
“Aku tidak selemah itu.” Belaku.
“Salahkah jika aku
menghawatirkanmu? Buruk sekali rasanya pernah hampir kehilanganmu. Lagipula,
kau masih tidak boleh terlalu cape setelah transplantasi.” Menggunakan tangan
kanannya dia memegang dadaku.
Aku memilin jari tanganku pada
jari-jari tangannya yang hangat, kemudian menatap ke dalam mata hijau tuanya.
Tersenyum, berusaha menenangkan perasaannya.
“Aku tahu kau mencemaskanku, aku
tahu kau mencintaiku. Aku akan menjaga diriku lebih baik lagi.” Aku mengecup
buku-buku jarinya yang agak tegang, kemudian dia sedikit rileks.
“Ya, kau harus menjaga dirimu
untukku.” Dia mengelus naik turun lengkungan pundakku menggunakan tangan
kirinya, “Aku harus mandi,” ucapnya kemudian.
William mengecup
pipiku sekilas, dia melonggarkan genggamannya agar aku bisa melepas tanganku
setelah itu naik ke kamar kami di lantai dua. Aku meraih remote TV yang ada di
meja dekatku. Tanpa antusias ku nyalakan TV plasma besar itu, mengoper-oper
ratusan chanelnya. Ku putuskan untuk menonton siaran berita CNN. Aku geser
sedikit dudukku hingga dekat pegangan sofa. Memposisikan bantal sofa kemudian
membaringkan tubuhku sepenuhnya di sofa kulit hitam yang besar. Kemudian aku
tertidur sebentar sebelum sentuhan William membangunkanku.
-----Puzzle----
Setelah makan
malam, kami menuju ruang keluarga dengan William yang memapahku. Masih terlalu
sore untuk pergi tidur. Lagipula, sebelum makan malam tadi aku sempat tertidur
sebentar. Kami duduk di sofa. William memeluk ku di sisinya, sementara aku
menyandarkan kepalaku di dadanya yang kokoh serta wangi parfum. William mengambil remot dari atas meja
kemudian menyalakan TV. Dia memencet
remot dan mengoper-opernya untuk mencari siaran yang menayangkan film bagus.
William tahu jika aku tidak suka menonton siaran olah raga. Selain karena tidak
ada pertandingan bagus sore ini. Seharian ini kami belum banyak mengobrol, Will
tahu aku akan tertidur dalam waktu kurang dari 10 menit jika kami menonton
pertandingan bola.
William
berhenti memencet remot setelah menemukan siaran film. Seorang wanita muda
sedang kebingungan untuk pulang, karena dia tidak memiliki cukup waktu untuk
naik bus yang seenaknya menaikkan tarif secara mendadak. Dia menggedor-gedor
setiap pintu sambil melihat jam digital yang terpatri di kulit tangannya. Jam
itu berjalan mundur. Rautnya benar-benar cemas. Aku tahu ini film apa.
“In Time.
Aku sudah pernah menontonnya.”
“Kau
ingin merubah channnel?”
“Ini
saja. Aku suka ide filmnya yang bagus.”
Kemudian
film sudah sampai pada adegan yang ironis dan emosional.
“Ironis,
Will Salas memiliki waku seratus tahun tapi tidak bisa menyelamatkan Rachel
yang hanya selangkah darinya.” Ucapku sedih.
“Itukan
hanya film. Jika saja kehidupan sesederhana itu, maka kau akan hidup selamanya
bersamaku,” William memelukku lebih erat, mengelus rambut panjangku.
“Kita
tetap takkan hidup selamanya, meski dalam film itu.” Ucapku sambil mengerutkan
dahi.
“Kenapa? Jika
ukurannya adalah kekayaan, itu bukan masalah.” Ucap Will enteng.
“Tentu
saja akan menjadi masalah,” Debatku keras kepala.”Di film itu pasti takkan ada
orang yang membutuhkan dokter atau rumah sakit karena tidak ada orang sakit.”
“Tidak
masalah, aku akan bekerja keras. Membangun bisnis atau apapun itu agar bisa
sekaya Tn. Weis dan kau akan menemaniku sebagai Ny. Weis”
“Tapi
bagaimana dengan Will Salas?”
“Biar
orang lain saja yang mengambil perannya.”
“Kau
egois.”
William
terkekeh sesaat sebelum berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku akan manjadi pria
paling egois jika itu menyangkut dirimu.”
Aku
menarik napas dalam, “Terserah kau saja,” ucapku menyerah dalam perdebatan
Aku
menaikkan kedua kakiku ke atas sofa, kemudian menidurkan kepalaku di pangkuan
William. Tangan kiri Will memeluk pinggangku, lalu aku meraih dan memainkan
jari-jemarinya yang hangat. Untuk beberapa waktu, kami tidak berbicara.fokus
pada film yang kami tonton. Tiba-tiba aku teringat satu film lama yang sangat
menyeramkan. Film tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi mata.
Mungkinkah apa yang ku alami sore tadi, sama seperti yang dialami gadis itu? Aku
sedang menimbang-nimbang untuk membicarakan suatu topik yang tidak masuk akal
ini bersama William. Agak sedikit berbau mistis malah. Will pasti akan
mentertawaiku habis-habisan. Akhirnya, Tv menayangkan iklan juga.
“Sayang,
kau mengantuk?”
“Tidak,”
jawabku sambil menggelengkan kepala, “ Aku hanya sedang berpikir.”
“Maukah
kau memberitahuku?”
“Entahlah
... kau hanya akan mentertawaiku nanti. Ini benar-benar tidak masuk akal.”
“Apa
masih ada hubungannya dengan film ini?”
“Sama
sekali tidak ada hubungannya. Tapi, memang ada hubungannya dengan film lama
yang pernah ku tonton.”
“Film
apa?”
“The
Eyes, film yang menceritakan tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi
mata. Setelah itu, dia selalu melihat hal-hal aneh yang dulu pernah di lihat
oleh gadis yang mendonorkan mata padanya. Hal-hal menyeramkan, penuh
malapetaka.”
“Biar ku
tebak, itu pasti film horor kan?”
“Ya, film
horor yang sangat menakutkan.”
“Aku tahu
kau akan menghubungkannya ke mana. Sungguh, kau tidak mengalami hal yang sama
dengan tokoh dalam film itu. Kau bukan orang pertama yang menjalani
transplantasi. Lagipula, donormu itu sudah beberapa minggu koma karena kematian
pada otaknya akibat benturan keras pada kecelakaan bus. Kita sudah
berterimakasih pada keluarganya, mereka juga rela dan gembira jika salah satu
organ dari putri mereka bisa terus hidup dan bisa menyelamatkan hidup orang
lain. Gadis itu sudah tenang dan bahagia di surga, tidak ada yang namanya hantu
atau sebagainya,” Will meledekku.
“Tapi,
apa yang terjadi padaku sore tadi?”
William
meringis, mengenang kejadian sore tadi.“Sudah ku katakan jika kau hanya
berhalusinasi. Kau kelelahan, sayang. Bisa juga karena efek samping obat atau
kau mengalami depresi ringan akibat proses transplantasi yang rumit ini. Semua
yang terjadi padamu itu wajar. Dulu aku pernah bilang jika sebagian besar
pasien akan mengalami depresi, perubahan emosi dan sebagainya. Tidak ada hubungannya
dengan hal-hal mistis, percayalah."
“Aku
harap memang itulah yang terjadi.”
“Kau bisa
berbicara pada psikiater jika kau mau.”
“Tidak,
aku tidak mau jika orang beranggapan aku gila.”
“Semua
pasien mendapatkan layanan psikiater. Orang yang mendatangi mereka bukan hanya
orang yang hampir gila atau sebagainya. Tapi, orang-orang yang sedang
membutuhkan dukunganpun membutuhkan mereka.”
“Cukup
kau saja yang mendukungku, Sayang.” Aku menggenggam tangan William di dadaku.
“Aku akan
selalu mendukungmu, aku takkan pernah menyerah.”
“Terimakasih,
Sayang.” Aku mengecup buku-buku jari William.
“Jangan
menghawatirkan hal lain, selain kesembuhanmu.”
Layar
televisi sudah mulai menayangkan film kembali. Kami menonton film tanpa suara.
William mengelus rambutku hingga membuatku mengantuk. Tidak butuh lama sampai
akhirnya aku tertidur. Aku setengah sadar ketika William menggotongku menaiki
anak tangga menuju kamar kami di atas.
---Puzzle-----
Monday, March 14, 2016
Puzzle (Prolog)
Prolog
Aku telah lolos dari kematian
berkali-kali, bahkan rasa sakit bagiku tidaklah sama seperti apa yang dirasakan
orang lain. Menghadapi meja operasi bukan hal yang terlalu menakuktkan. Pastilah
karena ada dia yang menggenggam tanganku. Pria yang ku cintai.
Jika hidup yang ku jalani adalah
kepingan puzle yang kepingan-kepingannya hilang, sudah menjadi kebutuhanku untuk
menyusun kembali dan menemukan kepingan-kepingan yang hilang itu agar hidupku
tak lagi terselimuti misteri. Terutama jika aku menemukan banyak kebohongan
dalam hidupku yang ku pikir sempurna. Atau seperti itulah awalnya.
Mungkin benar apa yang dikatakan
orang, “jangan terburu-buru mengambil keputusan.” Terutama jika itu
bersangkutan dengan pernikahan. Tapi, apakah itu berlaku untuk semua orang?
Jika aku tak mencobanya, darimana aku tahu jika telah membuat kesalahan?
Apalagi jika pria itu adalah pria yang siap melakukan apapun untuk membuat
jantungku tetap berdetak.
Bukankah hasil yang diperoleh
dari keputusan setiap orang tidaklah sama?
Surat Untuk Jodohku
Aku mencarimu,
aku juga tahu kau sedang mencariku.
Aku resah karena tak kunjung menemukanmu,
aku juga tahu, kau sama resahnya karena tak jua menemukanku
Aku tersesat berkali-kali, salah mengira itu dirimu.
kaupun mungkin tersesat berkali-kali salah mengira itu diriku.
Aku yakin akan menemukanmu suatu saat yang indah
kaupun yakin akan menemukanku suatu saat yang indah
Mari kita sama-sama berdo'a, sayang....
Semoga Allah SWT segera mempertemukan dan menyatukan kita.
Dua belahan hati yang terpisah.
Aku mencintaimu, Jodohku....
Aku juga tahu jika kau mencintaiku, Jodohku.
Dimanakah kau berada?
Aku berdoa, semoga hati dan dirimu selalu Allah jaga, sampai akhirnya bersatu denganku.
Begitupun aku yang kan selalu menjaga diriku, untuk menjadi seseorang yang paling istimewa ketika menjadi istrimu kelak.
Teruntuk jodohku, dimanapun kau berada.
Olief Lave
#To my Soulmate
aku juga tahu kau sedang mencariku.
Aku resah karena tak kunjung menemukanmu,
aku juga tahu, kau sama resahnya karena tak jua menemukanku
Aku tersesat berkali-kali, salah mengira itu dirimu.
kaupun mungkin tersesat berkali-kali salah mengira itu diriku.
Aku yakin akan menemukanmu suatu saat yang indah
kaupun yakin akan menemukanku suatu saat yang indah
Mari kita sama-sama berdo'a, sayang....
Semoga Allah SWT segera mempertemukan dan menyatukan kita.
Dua belahan hati yang terpisah.
Aku mencintaimu, Jodohku....
Aku juga tahu jika kau mencintaiku, Jodohku.
Dimanakah kau berada?
Aku berdoa, semoga hati dan dirimu selalu Allah jaga, sampai akhirnya bersatu denganku.
Begitupun aku yang kan selalu menjaga diriku, untuk menjadi seseorang yang paling istimewa ketika menjadi istrimu kelak.
Teruntuk jodohku, dimanapun kau berada.
Olief Lave
#To my Soulmate
Saturday, January 23, 2016
Down
Kalau hardisk rusak itu.... tak terkatakan deh. susah banget. ini dia, gara-gara hardisk rusak, semua jadi hilang. data-data, foto-foto, pdf. dan yang bikin nyesek adalah draft novel The Davian book 1 yang cuma tinggal edit 2 adegan terakhir, ending doang....
whufh.... sempet down dan agak depresi jadinya... setres abis ya jelas. nangis gak sudi, tapi pada akhirnya gw nangis juga dah... untuk melepaskan emosi itu.
well... akhirnya gw ganti hardisk baru, dan gw gak bsa buka adsense karenanya. gw otak-atik gak bisa-bisa, ntah kenapa?mungkin ada yang bisa bantu?
setelah beberapa waktu sempet down dan gak nulis lagi.. akhirnya gw putuskan untuk mulai nulis lagi. malah dapet ide baru tulisan... hahai... butuh banyak riset sih. tapi, tetep aja, mulai lagi nulis The Davian, mengais-ngais file di email dan sebagainya itu. karena hasil yang diperoleh mengecewakan, so... gw putuskan menulis ulang total. tapi yah, sejauh ini baru sampai bab 2, benar-benar mengecewakan.
eh ....mungkin ini karena gw sibuk banget deh.
jangan sampai hal ini kalian alami deh, hmm.... kerjaan bertahun-tahun, bisa lenyap tak bersisa. nyeseeeek banget rasanya,
Friday, July 11, 2014
Main Game Dapet Dolar (Dungeon & Treasures)
Dungeons & Treasures
Beberapa bulan lalu, gw cari-cari game yang menghasilkan dolar, tapi gratis alias gak perlu beli ini itu atau bayar pendaftaran, nah akhirnya gw nemu games Dungeons & Treasures ini. Maen gamesnya juga gampang banget, coz game 2D dan hanya memasuki terowongan untuk menemukan harta karun, gold, potion, dan atribut seperti sword dan lain-lain itu, dan semua itu bisa di jual juga termasuk monster-monster yang bisa di tangkap menggunakan jaring, jaringnya boleh beli dulu ye di Shops sekitar 1000 gold. atau tu monster-monster yang kita temuin di terowongan bisa di bunuh aja biar dapet xp, ningkatin level. jadi kita cuma diminta memasuki dungeon, bisa dibilang semacem labirin lah, ada peta di ujung kanan bawah, jadi bisa liat pintu mana yang belum ke buka dan kudu nyari kuncinya biar bisa masuk ke pintu itu kemudian kita juga bisa dapet kunci wood, steel, silver dan gold yang bisa dipakai untuk buka peti harta karun di Chestroom dan memilih satu dari 4 peti harta.
gold yang diperoleh akan di konversikan ke DT$, uang virtual gitu dan semua yang kita dapet seperti sword, potions, keys dll itu akan di kosongkan alias di hapus jadi pas akhir bulan mending jual semuanya dan pakai semua kunci di chestsroom deh, coz bakal hilang dan level yang kita peroleh akan di hapus juga mulai dari level 1 lagi, termasuk gold akan di konversikan ke DT$. dan kita bakal di kasih modal 500 gold. intinya kumpulin sebanyak-banyaknya gold. bisa ikutin kontes-kontes juga yang berhadiah gold. Oh iya, di game ini kita akan diberi 1 dungeon perhari, dan 3 nyawa perhari, jadi kalau nyawanya udah habis ya nunggu besok untuk maen lagi, kecuali kalau punya starpoint yang bisa dipakai untuk membeli nyawa, naekin level dan beli dungeons, starpoint bisa didapet dari ngikutin kontes-kontes dan lainnya yang biasanya berhadiah starpoint untuk beberapa kontestan teratas. maen gamenya gampang coz game 2D jadi gak gerak-gerak berupa gambar doang.
dan kita bisa mencairkan dolar yang kita dapat itu lewat akun paypal.
Emang sih, kalau gw sendiri berhubung belum begitu tau triknya jadi cuma sedikit tiap bulannya tapi lumayanlah untuk belajar cari duit lewat internet. dan pastinya ada trik-trik lain untuk dapet buanyak gold itu.
liat aja di top player, beuh ampe puluhan juta gold yang mereka dapet, di urutan atas pemaen sih... hehehe... saking penasarannya, w itung tuh, wow beberapa ratus dolar mereka dapetin. dan kalian bisa juga ningkatin gold dengan cara kaya gw gini nih...
Trus dari mana dolar/euro yang mereka bagi-bagiin ini?
dari keuntungan penjualan DTcode, kemudian dibagikan ke kita, di konversikan ke gold yang diperoleh kita. dan gak wajib beli DTcode, gak musti beli, gw gak pernah beli malah selama ini. jadi gw rasa sistemnya kaya koperasi gitu. keuntungannya di bagikan deh. dan yang w lihat sih, ntu yang top player no 1 itu, pasti dah promosiin ke banyak orang deh. berhubung w baru kali ini promosiin silahkan klik link yang udah w taro di sini....
silahkan klik dan thaks :) Dungeons & Treasures
Beberapa bulan lalu, gw cari-cari game yang menghasilkan dolar, tapi gratis alias gak perlu beli ini itu atau bayar pendaftaran, nah akhirnya gw nemu games Dungeons & Treasures ini. Maen gamesnya juga gampang banget, coz game 2D dan hanya memasuki terowongan untuk menemukan harta karun, gold, potion, dan atribut seperti sword dan lain-lain itu, dan semua itu bisa di jual juga termasuk monster-monster yang bisa di tangkap menggunakan jaring, jaringnya boleh beli dulu ye di Shops sekitar 1000 gold. atau tu monster-monster yang kita temuin di terowongan bisa di bunuh aja biar dapet xp, ningkatin level. jadi kita cuma diminta memasuki dungeon, bisa dibilang semacem labirin lah, ada peta di ujung kanan bawah, jadi bisa liat pintu mana yang belum ke buka dan kudu nyari kuncinya biar bisa masuk ke pintu itu kemudian kita juga bisa dapet kunci wood, steel, silver dan gold yang bisa dipakai untuk buka peti harta karun di Chestroom dan memilih satu dari 4 peti harta.
gold yang diperoleh akan di konversikan ke DT$, uang virtual gitu dan semua yang kita dapet seperti sword, potions, keys dll itu akan di kosongkan alias di hapus jadi pas akhir bulan mending jual semuanya dan pakai semua kunci di chestsroom deh, coz bakal hilang dan level yang kita peroleh akan di hapus juga mulai dari level 1 lagi, termasuk gold akan di konversikan ke DT$. dan kita bakal di kasih modal 500 gold. intinya kumpulin sebanyak-banyaknya gold. bisa ikutin kontes-kontes juga yang berhadiah gold. Oh iya, di game ini kita akan diberi 1 dungeon perhari, dan 3 nyawa perhari, jadi kalau nyawanya udah habis ya nunggu besok untuk maen lagi, kecuali kalau punya starpoint yang bisa dipakai untuk membeli nyawa, naekin level dan beli dungeons, starpoint bisa didapet dari ngikutin kontes-kontes dan lainnya yang biasanya berhadiah starpoint untuk beberapa kontestan teratas. maen gamenya gampang coz game 2D jadi gak gerak-gerak berupa gambar doang.
dan kita bisa mencairkan dolar yang kita dapat itu lewat akun paypal.
Emang sih, kalau gw sendiri berhubung belum begitu tau triknya jadi cuma sedikit tiap bulannya tapi lumayanlah untuk belajar cari duit lewat internet. dan pastinya ada trik-trik lain untuk dapet buanyak gold itu.
liat aja di top player, beuh ampe puluhan juta gold yang mereka dapet, di urutan atas pemaen sih... hehehe... saking penasarannya, w itung tuh, wow beberapa ratus dolar mereka dapetin. dan kalian bisa juga ningkatin gold dengan cara kaya gw gini nih...
Trus dari mana dolar/euro yang mereka bagi-bagiin ini?
dari keuntungan penjualan DTcode, kemudian dibagikan ke kita, di konversikan ke gold yang diperoleh kita. dan gak wajib beli DTcode, gak musti beli, gw gak pernah beli malah selama ini. jadi gw rasa sistemnya kaya koperasi gitu. keuntungannya di bagikan deh. dan yang w lihat sih, ntu yang top player no 1 itu, pasti dah promosiin ke banyak orang deh. berhubung w baru kali ini promosiin silahkan klik link yang udah w taro di sini....
silahkan klik dan thaks :) Dungeons & Treasures
Wednesday, December 25, 2013
The Davian Chapter 2
Hai.... :) :)
“Karena mereka semua sama saja.
Tidak berbeda seperti....”Sebulir air mata menetes, tepat setelah ia
menundukkan kepala sambil menjejalkan roti dalam mulutnya.
“Tentu saja, aku 22 tahun, Yah. Walau
aku sempat menghilang. Jauh kedalam hatiku yang merana. Meratapi yang sudah
terjadi bukanlah hal bijak, akhirnya aku sadar tentang itu. Kisah kami indah,
dan biar itu selamanya indah. Menjadi petualangan terliarku dalam hidup, hingga
aku mengerti mengenai hidup.”
Oke, dalam satu hari ini saya mengepos beberapa chapter dalam novel saya The Davian jilid pertama.Setelah tadi, beberapa waktu mencari gambar ilustrasi yang kiranya cocok untuk menggambarkan situasi ini. sangat cukup sulit juga carinya, semoga suka :)
Memang dalam novel ini menggunakan nama-nama barat, khususnya eropa, tapi untuk tokoh utama sendiri "Frea" merupakan nama yang berasal dari bahasa Indonesia. Frea berarti Bangsawan yang adil. Hampir seluruh nama tokoh di The Davian memiliki arti tersendiri, dan hampir seluruhnya juga didapat dari situs http://www.idenamabayi.com/ situs yang benar-benar sangat membantu untuk mencari inspirasi nama-nama tokoh, udah gitu berikut arti dan lengkap banget.
Saya pernah menunjukkan novel ini kepada partner nulis Fantasi saya untuk novel yang lain. Minta tolong untuk baca dan mengomentari, dan dia bilang kalau ini membahas hal yang sama dengan Casual Vacancy nya JKR. padahal, sungguh novel ini sudah ada idenya di kepala sebelum Casual Vacancy rilis, dan saya juga belum pernah baca novel JKR yang satu itu, meski saya sangat ngefans sama JKR dan karya-karya amazing HArry Potternya. So... saya yakin ini novel alurnya dan isinya beda banget dari sinopsis Casual Vacancy, meski sama-sama mengangkat masalah sosial, dan di seting abad pertengahan. hahaha.... coz i love classic story. hakakakak.... Tau kah? Pada bab pertama, saya tulis setelah bab lain jadi, dan dalam kondisi patah hati... hik... hik.... semoga pembaca bisa merasakan pedihnya tragdi itu, tapi... upz kasus beda, saya patah hati bukan karena orang yang dicintai tewas, tapi karena ditinggal nikah :( huaaa..... Upz... curcol boo....
Waw kayanya udah terlalu banyak bercerita deh. Yuuk silahkan dibaca, ditunggu komentar dan kritik nya,,,, folow juga ya..... :):):)
The Davian Book 1
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih
Bab
2: Keluarga Seablert
Suara
gaduh sentakan kaki dengan lantai parket kayu terdengar. Mengganggu Fiona
Seablert yang sedang menata sarapan di ruang makan, satu lantai dibawah sumber
suara. Tidak lama kemudian, terdengar suara dua wanita muda yang berdebat.
Markuires Seablert berusaha mengacuhkan suara berisik itu. Ia terus menata meja
sambil memberikan perintah dan mengecek pekerjaan pelayan-pelayannya.
Markuires Fiona
Seablert adalah istri dari Markuis Verrel Seablert. Seorang wanita yang masih
terlihat cantik diusia 42 tahun. Kulitnya putih bersih, memiliki rambut ikal
berwarna emas yang selalu ia tata dengan gelungan sederhana. Jepit dari perak
atau emas yang dihias mutiara maupun batuan mulia berbentuk bunga memanjang,
selalu tersemat di sisi kanan rambut. Verrel sungguh beruntung mendapatkan
Fiona yang digilai pria bangsawan, pada masa mudanya.
“Ibu ... Frea mengambil jepit rambutku.”
“Pengadu! Lagipula,
ini milikku yang belum kau kembalikan.”
“Elenor Frea, Daila
Rose ... jangan sampai ibu naik keatas!” Ancam Nyonya Seablert dari ruang
makan. Suaranya terdengar berteriak.
“Frea mengambil
jepit tulip yang sedang kupakai.”
“Aku hanya mengambil
milikku,” bela Frea.
Frea berlalu menjauh
dari Daila, mendekati tangga turun. Rambut ikal cokelat sepunggungnya mengibas.
Daila mengikuti dari belakang, berusaha merebut kembali jepit rambut tulip yang
terbuat dari emas putih, serta berhiaskan berlian kuning di bagian putik.
Sepintas, Frea dan
Daila tampak sama. Mereka memiliki bibir tipis merah dari Fiona. Bola mata
mereka berwarna hijau terang, Daila memiliki dagu labih lancip, sedangkan Frea
memiliki hidung mancung sama seperti ayahnya, lebih mancung dari Daila dan
ibunya. Serta Frea lebih tinggi dua senti dari adiknya, rambut Daila memiliki
warna yang sama dengan rambut Fiona, keemasan. Hanya saja sedikit gelap karena
Verrel memiliki rambut coklat. Sedangkan warna rambut Frea lebih coklat, lebih
mirip warna rambut Verrel, hanya sedikit lebih terang.
“Margharet, kau
awasi pekerjaan para pelayan. Aku tidak tahan dengan keributan diatas.”
“Baik, Nyonya.”
Kepala pelayan
urusan dapur berusia 60 tahun itu mengangguk, mengiyakan perintah Fiona. Walau
sudah tua, Margharet masih terlihat segar. Apalagi dengan penampilannya yang
selalu rapi dan bersih. Walaupun, rambut yang selalu digelung itu sudah hampir
memutih sempurna.
Fiona naik ke lantai
dua. Menuju sumber keributan. Dengan perasaan jengkel dan kesal. Sepertinya
tidak ada seharipun tanpa pertengkaran diantara kedua putrinya itu. Segala hal
maupun barang dapat diperebutkan ataupun diributkan oleh mereka. Dan tidak ada
seorang pun yang mau mengalah.
“Kali ini apa yang
kalian ributkan?”
“Frea merebut jepit
rambut yang sedang aku kenakan, Bu.”
“Tidak ... Daila
yang mengambilnya diam-diam berbulan-bulan lalu dariku.”
“Itu tidak benar.
Aku pernah bilang meminjam padamu.”
“Kapan?”
“Su ... sudah lama.
Kau pasti sudah lupa.”
“Hentikan! Frea, mungkin kau dapat meminjamkannya pada
adikmu.”
“Tidak Bu, sudah
terlalu lama. Lagipula aku ingin memakainya, dan akan sangat cantik di
rambutku. Kau tahu kan Daila, kalau hadir dalam parade itu sangat penting.
Siapa tahu, Dux of Swaggart hadir.”
“Ibu....” rengek
Daila.
“Pakai jepit rambut
yang lain! Ibu bosan menengahi pertengkaran kalian!”
Fiona beranjak
menuruni tangga kayu berukiran. Meninggalkan selasar lantai dua. Mulutnya
komat-kamit mengatakan kata-kata kesal terhadap kedua putrinya dengan suara
hampir tak terdengar.
“Dan Daila, sudah
berapa kali ibu katakan. Tidak sopan memanggil kakakmu hanya dengan namanya.
Panggil Frea kakak!” Ucap Fiona dengan tegas sebelum ia benar-banar tidak
terlihat.
“Kau dengar itu adik! Dan keahlian dustamu tidak ampuh
untuk mengalahkanku.”
“Kau jahat! Lagipula, sejak kapan kau kembali peduli
pada remeh temeh parade dan pesta?”
“Sejak hari ini. Aku putuskan untuk kembali. Aah ...
ternyata aku cukup rindu menjadi pusat perhatian.”
“Kau tidak sungguh-sungguh kan?”
“Kau takut tersaingi?”
Frea menatap tajam mata Daila. Jelas sekali adiknya
itu terkejut dan merasa terancam kalau sampai Frea kembali. Selama beberapa
tahun terakhir semenjak Frea menarik diri saja, Daila belum bisa mengalahkan
pamor dan ketenaran kakaknya sebagai lady idaman setiap gentlemant.
“Tenang saja, karena aku tidak pernah menanggapmu
saingan. Ah ya ... kau belum pantas ku anggap saingan, itu maksudku.”
“Kau jahat!”
“Panggil aku kakak! Tidak sopan!”
Frea meninggalkan Daila yang terbengong-bengong tidak
percaya sekaligus kesal. Bagaimana mungkin ia bisa kalah lagi dari Frea,
pikirnya dalam hati. Sekaligus merasa kalau kedua orangtuanya pilih kasih.
Lebih menyayangi Frea dibanding dirinya. Tapi ada yang lebih penting dari semua
itu, kalau ia sangat terancam dengan niat kembalinya Frea.
°The
Davian°
Meja makan telah terisi penuh oleh
seluruh anggota keluarga. Daila yang malas-malasan dalam menyantap roti gandum
dengan isi daging sapi panggang, justru sangat asik memainkan rambut kuningnya
yang panjang dan sedikit ikal. Nyonya seablert menatap kesal kepada putri
bungsunya itu. Ia paling benci bila ada yang memainkan makanan. Seakan tidak
menghargai kerja keras petani hingga gandum itu dapat dibuat roti oleh pelayan,
dan barulah dapat terhidang di atas meja makan.
“Ibu ... boleh aku menyudahi
sarapanku?”
“Tidak! Habiskan makananmu!”
“Aku sungguh sudah kenyang, Bu.”
“Kenyang? Bahkan menyentuhnya saja
belum.”
“Aku takut gemuk bu.... Bagaimana
kalau aku makan buah saja ya?”
“Habiskan rotimu dulu! Jangan
membuang-buang makanan! Kau tahu roti itu dibuat dengan proses yang panjang,
hingga akhirnya tersedia diatas piringmu
kan?”
“Ya ... ya.... Ibu akan mengatakan
bagaimana proses gandum ditanam, hingga bisa dibuat roti oleh pelayan, dan bla
... bla ... bukan? Ibu sudah sering mengatakannya.”
“Lantas, kenapa kau selalu
membantah?”
“Itu karena....”
“Selalu seperti ini disaat makan,”
Keluh Verrel Seablert.
Pertengkaran itu akhirnya
berhenti. Daila dengan terpaksa harus menghabiskan sarapannya. Fiona tersenyum
puas, karena memenangkan perdebatan dengan Daila. Untuk sesaat, suasana tenang
tercipta diruang makan. Sedangkan Frea sendiri, sejak awal tidak berminat
berada dalam pertengkaran adik dan ibunya. Ia lebih memilih makan dengan
tenang, sama seperti ayahnya.
“Frea ... ayah dengar semalam kau
mimpi buruk lagi?”
“Sepertinya begitu,” Frea
tersenyum berusaha tegar.
“Apa ayah perlu memanggil dok....”
“Tidak perlu,” Potong Frea, “Bisa
ku atasi.”
“Well, baiklah. Ngomong-ngomong
apa kau dapat menemani ayah berlatih memanah pagi ini?”
“Tentu. Aku tidak memiliki rencana
apapun hari ini.”
“Kau memang tidak punya rencana
apapun selama empat tahun terakhir!”
“Ah ya ... aku lupa. Aku tidak
sepertimu yang selalu menghabiskan waktu di butik untuk menguras uang
keluarga.”
“Kita ini bangsawan, sudah
seharusnya hidup seperti itu kan? Aku sempat berpikir, apa kau benar-benar
bangsawan? Apa kau benar-benar anak ayah dan ibu?”
“Kau bisa melihat siapa yang lebih
mirip. Aku atau dirimu dalam hal bersikap. Ah ... ya, aku dengar kau belum bisa
menyamaiku. Padahal aku sudah memberimu waktu empat tahun untuk lebih baik.”
“Frea ... Daila ... hentikan!”
Sentak Verrel.
“Maafkan aku, ayah.” Frea
memberikan senyum kecil inocent.
“Baiklah ... bagaimana? Kau mau
menemani ayah berlatih?”
“Bagaimana mungkin aku menolak.”
“Bagus.”
“Tidak seharusnya kau selalu
mengajak Frea berlatih. Ia Lady, bukan gentleman.”
“Apa aku salah, Fiona? Kita kan
tidak punya anak laki-laki. Lagipula, Frea tidak keberatan kan?”
“Tentu. Aku tidak keberatan.”
“Makanya, kau harus segera menikah
agar ayah memiliki anak laki-laki. Benar kan Bu, Yah?”
Fiona dan Verrel diam saja. Tidak
menanggapi sindiran Daila terhadap Frea. Justru, Verrel mengendurkan celana
agar dapat bernapas lebih lega. Karena faktor usia, beberapa tahun terakhir,
tubuh Verrel kelebihan beberapa kilo berat badan. Meski dia masih terlihat
gagah, selain aura bijaksana yang semakin tua semakin menarik.
Walaupun usia putri sulungnya itu
22 tahun. Tetapi, mereka tidak ingin sebuah pengalaman pahit terulang lagi.
Apalagi kala itu, cukup membuat mereka kewalahan dan menanggung malu di
kalangan bangsawan. Penolakan tegas yang memalukan berkali-kali dilakukan Frea
dengan perasaan tanpa dosa. Upaya yang Verrel lakukan dengan harapan putrinya
itu bisa melupakan masa lalu tragis.
“Aku pasti akan menikah. Tenang
saja.”
“Setelah menolak berapa banyak
lagi? Sampai sekarang saja, sudah enam pria yang kakak tolak bukan?”

“Dre? Pemuda pengangguran tidak
jelas yang kau pungut di pinggir jalan itu? Seleramu benar-benar rendah!”
“Apa kau bilang? Kupungut di
jalan? Kau pikir dia lebih hina dari pria-pria bangsawan yang kau kencani?”
“Oh ya, tentu saja!”
“Hentikan, Daila! Tidak perlu
dibahas lagi! Ayah yakin, suatu saat akan ada pria yang pantas untuk Frea.
Masalah cinta, tidak bisa dipaksakan. Kelak kau akan mengerti dengan semua yang
dilakukan kakakmu. Dia masih membutuhkan banyak waktu untuk melupakan masa
lalu.”
“Dan kau, Daila. Senang betul
membuat keributan diruang makan!” Fiona sedikit marah.
“Selalu aku yang salah.”
°The
Davian°
Matahari
baru saja mulai naik. Memberikan udara hangat di bulan Agustus. Rumput tumbuh
hijau terbentang di halaman belakang puri yang luas. Lebih kebelakang lagi,
terdapat hutan pinus. Titik air melembabkan rumput. Semalam hujan gerimis
selama satu jam masih meninggalkan titik-titik air itu dipermukaan rumput
jepang.
Frea
dan ayahnya, Verrel Seablert, telah berada di halaman belakang itu. Papan
target yang dipasang permanen bertahun-tahun lalu, sudah mulai terlihat usang.
Terlihat dalam waktu lama sudah jarang digunakan berlatih. Lubang-lubang bekas
tancapan panah, sudah mulai menghilang dimakan cuaca. Frea menggelung rambutnya
menggunakan tusuk konde perak berhias beberapa mutiara diujungnya. Ia sudah
berganti pakaian, tidak lagi mengenakan gaun seperti ketika sarapan. Kemeja
putih berlengan lebar, ikat pinggang kulit serta celana kulit hitam yang ketat
mengkilap. Setelan yang sejatinya dipakai oleh pria.
“Siapa yang akan memulai lebih
dulu?”
“Ayah dulu saja.”
“Oke....”
Tuan Seablert menarik anak panah
dan mulai melakukan sikap memanah. Ia menarik busur kebelakang, matanya
konsentrasi membidik sasaran. Berusaha agar anak panah itu dapat menancap di
bagian terdalam lingkaran yang berwarna merah itu. Tidak lupa, Tuan Seablert
menghitung kecepatan serta arah angin. Setelah ia rasa siap meluncurkan anak
panah, dengan kecepatan penuh, anak panah menancap pada papan sasaran.
“Yea ... lumayan. Walau panah ayah
berada di tengah sasaran. Tetapi, hampir menyentuh garis.”
“Cobalah kalahkan ayah!”
“Well ... apa hadiah bila aku
dapat mengalahkan ayah?”
“Apapun yang kau minta.”
“Oke....”
Dalam gerakan secepat kilat, Frea
membidik papan sasaran. Anak panah meluncur secepat angin. Tahu-tahu sudah
menancap tepat di tengah-tengah papan sasaran. Dengan nilai sempurna. Tuan
Seablert sempat terkesima, sungguh mengagumkan. Tiga detik kemudian, ia
memberikan tepuk tangan.
“Tidak ku sangka. Padahal, sudah
bertahun-tahun kau tidak berlatih.”
“Bakat tidak akan pernah hilang
bukan, Yah?”
“Andai kau laki-laki ... pasti
sudah menjadi komandan perang, atau mungkin seorang jendral....”
“Tapi, sayangnya aku wanita kan?”
“Kau tetap permata bagi ayah.”
Frea hanya membalas ucapan ayahnya
dengan senyuman tulus seperti biasanya. Sudah lama memang mereka tidak berlatih.
Frea yang semakin dewasa menjadikan mamanah bukanlah hal yang begitu penting
dan pantas lagi untuk dipelajari.
“Masalah hadiah ... apa benar ayah
akan memberikan apapun?”
“Kau ... tidak pernah melupakan
ucapan ayah.”
“Janji adalah janji bukan?”
“Ya ... ya.... Jadi apa yang kau
inginkan?”
“Untuk saat ini belum ada.”
“Baiklah.... Kalau suatu saat kau
sudah memiliki permintaan, akan ayah kabulkan.”
“Apapun itu?”
“Apapun itu.”
“Dan ngomong-ngomong ... apa kau
akan menghadiri parade siang ini?”
Kini mereka sudah duduk di kursi
taman yang terletak di sisi kiri tempat latihan memanah. Di bawah pohon
beringin besar yang rindang. Terdapat taman kecil yang ditanami bunga mawar dan
lily beraneka jenis, serta beberapa jenis anggrek. Bunga-bunga yang sebagiannya
ditanam oleh Fiona dan Frea dikala senggang. Bunga-bunga itu tidak ditata
secara jenis maupun warna, tetapi ditanam begitu saja dimana mereka suka.
“Aku rasa aku akan datang.
Lagipula, tadi pagi sudah terlanjur bertengkar memperebutkan jepit rambut pemberian
ayah. Daila memang sungguh menyebalkan! Bila meminjam, hampir tidak pernah ia
kembalikan, tanpa aku ambil paksa.”
“Seperti itulah adikmu. Tetapi,
walau bagaimanapun, ia tetap saudaramu.”
“Aku tahu, dan aku sangat
menyayanginya tentu.”
“Bagus ... kita semua akan
berangkat menonton parade, termasuk Margharet dan Hugo. Dan Frea, ayah senang
kau mau kembali kedalam pergaulan. Itu berarti kau sudah bisa mengubur masa
lalu itu. Ayah sendiri merasa bersalah dan merasa ikut andil dalam tragedi yang
menyebabkan kematian Dre. Andai ada yang dapat ayah lakukan selain kata maaf.”
“Aku sudah akan bisa mengatasinya,
Yah. Aku rasa, kami bukan ditakdirkan untuk bersama. Ayah juga tahu kalau kita
tidak akan pernah bisa melawan takdir, seperti yang selalu ayah katakan padaku.”
“Kau sudah lebih dewasa sekarang.”

“Putriku....” Verrel memeluk Frea.
Air mata menetes dipipinya, yang segera dihapus.
“Ayah ... aku sudah bangkit.
Jangan mengkawatirkanku lagi, ya....”
“Tentu ... tentu, Putriku.” Verrel
melepaskan pelukannya, menepuk pundak Frea sambil tersenyum tegar, “Ah ... matahari
sudah mulai naik, sebaiknya kita masuk kedalam.”
“Ya....”
Verrel berlalu berjalan dibawah
rindangnya maple-maple berdaun merah yang rindang, yang ditanam dipinggir-pinggir
trotoar taman hingga menjadikannya rindang serta penuh warna. Frea tersenyum
menatap punggung ayahnya yang sudah tidak begitu tegap lagi seperti ketika Frea
kecil. Dipunggung itu, Verrel sering menggendongnya masuk ke puri selesai jalan-jalan
ditaman seperti hari ini. Terkadang Frea rela berpura-pura terjatuh saat
berjalan-jalan agar ayahnya itu mau menggendongnya, terkadang sampai membuatnya
tertidur dipundak ayahnya itu.
“Frea ... ayo!” Panggil Verrel
setelah agak jauh namun putrinya masih terpaku ditempat semula.
“Ya, Ayah....” ucapnya sembari
tersenyum.
Sebenarnya Frea tidak begitu suka
menonton parade maupun menghadiri pesta bangsawan empat tahun terakhir. Ia
menyadari kalau pesta-pesta itu suatu pemborosan. Selain itu, banyak lady yang
hanya berpura-pura menyukainya. Tapi, pada kenyataannya hampir semua mereka
saling membenci karena persaingan. Mereka seperti boneka-boneka porselen cina
yang memakai riasan tebal, penuh sandiwara, penuh kepalsuan. Menyembunyikan
siapa diri mereka sesungguhnya dihadapan orang lain. Satu hal lagi, istri-istri
bangsawan yang terlihat bahagia dan tegar itu kebanyakan wanita-wanita yang
rapuh didalam, mereka tidak benar-benar bahagia. Melainkan jiwa mereka hancur
perlahan, tanpa disadari.
°The
Davian°
Subscribe to:
Posts (Atom)